dulu beras sekarung itu biasa, sekarang beras lima liter alhamdulillah sekali.
dulu masing-masing dapat satu naskun untuk sarapan, sekarang satu naskun berdua [itu pun cuman kadang-kadang].
dulu saya bosan liat ayam di meja makan , sekarang saya sudah jarang liat ayam di meja makan.
dulu hp rusak ganti yang baru, sekarang hp rusak yah sabar saja.
dulu saya pantang makan telur dadar, sekarang saya harus terbiasa makan telur dadar.
dulu pace tiduran santai di rumah, sekarang pace labih banyak menghabiskan waktunya di bengkel.
dulu saya rajin jajan cemilan, sekarang saya mulai menahan diri.
dulu pake anti nyamuk semprot, sekarang anti nyamuk bakar.
dulu mace rajin beli coto, sekarang mungkin hanya sebulan sekali.
dulu mace semangat beli baju untuk saya, sekarang saya minta pun tidak dikasi, kalau pun beli, yah dicicil.
dulu saya liat pce makan kue di ruang tamu di pagi hari, sekarang saya tidak lagi karena pace sibuk nyupir.
dulu air minum habis langsung beli, sekarang habis air minum yah masak air untuk minum.
dulu mudik itu biasa saja, sekarang mudik itu yah kalau penting saja.
dulu liburan minimal bisa jajan, sekarang tidak sama sekali.
Ada hal bodoh yang saya lakukan beberapa hari yang lalu. Saya benar-benar seperti anak-anak hari itu. Saya memaksa pace ke optik meski hujan deras dan tanpa jas hujan. Dan sesampai di optik lagi-lagi saya bertindak bodoh. Saya menunjuk frame kacamata yang astagfirullah harganya, ternyata selera saya tinggi juga yah tapi tidak seimbang dengan uang yang pace punya. Saya tahu pace tadinya cuman diberi 200rb, tapi karena saya yang minta jadi pace meminta uang lagi pada menteri keuangan namun hanya ditambahkan 100rb. Dan salahnya, saya menunjuk frame yang harganya ndag tanggung-tanggung, 800rb. Tentu saja saya mengerti dengan keadaan keluarga saya belakangan ini, saya tidak berani melanjutkan mancari frame di lemari yang sama, saya kembali ke lemari frame yaang katanya paling mahal 200rb. Dan dengan berat hati saya memilih frame yang sama dengan yang lama, frame nenek-nenek saya menamainya. Mungkin hanya beda warna, dan menurut saya frame yang sekarang saya punya lebih dalam kesan nenek-neneknya dibanding frame yang lama. Tak apalah, setidaknya tidak begitu mahal. Nanti kalau saya sudah punya penghasilan sendiri baru saya boleh menunjuk frame dengan bebas.
Hal lain yang membuat saya sedih adalah ketika semua orang begitu gampang menentukan hari untuk membayar uang SPP sedangkan saya tidak demikian. Mereka tinggal minta. Berbeda dengan saya, ketikameminta uang SPP saya masi harus menunggu. Yah menunggu mce.pce mengumpulkan uang, semoga saja tidak lama. Dan saya juga sedikit bersedih karena kemarin saya tidak bisa ikut ke Soppeng menjenguk nenek saya yang sedang sakit parah. Ketika saya masi tertidur di bawah rak tv, samar-samar saya mendengar mce.pce bertengkar karena pce sedang bersiap-siap untuk ke Soppeng dan mce melarangnya karena membutuhkan uang yang tidak banyak menurut orang-orang tapi berharga sekali di rumah ini, 70rb. Karena itu saya mengurungkan niat untuk ikut ke Soppeng. Bisa-bisa saya melipatgandakan pertengkaran pagi itu. Saya Cuma bisa menitip salam dan menjenguk nenek saya lewat doa di shalat-shalat saya yang kebanyakan bolong.
No comments:
Post a Comment