Sunday, February 12, 2012

Agent Penyakit Menular Filariasis (Kaki Gajah)


Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik
Agen penyakit Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.

Wuchereria bancrofti atau disebut juga Cacing Filaria adalah kelas dari anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Nemathelminthes. Bentuk cacing ini gilig memanjang, seperti benang maka disebut filaria. Cacing ini hidup pada pembuluh limfe di kaki. Jika terlalu banyak jumlahnya, dapat menyumbat aliran limfe sehingga kaki menjadi membengkak. Pada saat dewasa, cacing ini menghasilkan telur kemudian akan menetas menjadi anak cacing berukuran kecil yang disebut mikrofilaria. Selanjutnya, mikrofilaria beredar di dalam darah. Larva ini dapat berpindah ke peredaran darah kecil di bawah kulit. Jika pada waktu itu ada nyamuk yang menggigit, maka larva tersebut dapat menembus dinding usus nyamuk lalu masuk ke dalam otot dada nyamuk, kemudian setelah mengalami pertumbuhan, larva ini akan masuk ke alat penusuk. Jika nyamuk itu menggigit orang, maka orang itu akan tertular penyakit ini, demikian seterusnya. Wuchereria bancrofti ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, dan Pekalongan. Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat dalam darah tepi pada malam hari. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembangbiak di air limbah rumah tangga, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe pedesaan ditularkan oleh nyamuk dengan berbagai spesies antara lain Anopheles, Culex, dan Aedes


Brugia malayi adalah nematoda (cacing gelang), salah satu dari tiga agen penyebab filariasis limfatik pada manusia. Malayi terjadi dalam dua tahap diskrit yaitu dalam vektor nyamuk dan dalam manusia. Kedua tahap sangat penting untuk siklus hidup parasit.
Nyamuk berfungsi sebagai vektor biologis dan hospes perantara yang diperlukan untuk siklus perkembangan dan transmisi B malayi. Nyamuk membutuhkan darah manusia dan makan mikrofilaria ingests (seperti cacing telur berselubung) yang beredar dalam aliran darah manusia. 5-7 Pada nyamuk, mikrofilaria kandang selubung, menembus midgut, dan bermigrasi ke otot-otot dada adalah peningkatan mikrofilaria dalam ukuran, meranggas, dan berkembang menjadi larva infektif selama rentang 7-21 hari. Tidak ada multiplikasi atau reproduksi seksual mikrofilaria terjadi di nyamuk. 8-1 Larva infektif (L3) bermigrasi ke kelenjar ludah, masukkan belalai dan melarikan diri ke kulit manusia ketika nyamuk memakan waktu makan darah.

Brugia malayi mengalami pengembangan lebih lanjut pada manusia serta reproduksi seksual dan produksi telur. 1-2 Larva infektif (L3) secara aktif menembus kulit melalui lubang gigitan dan berkembang menjadi orang dewasa dalam sistem limfatik selama rentang waktu 6 bulan. Cacing dewasa dapat bertahan hidup dalam sistem limfatik untuk 5-15 tahun. Para pria dan wanita dewasa cacing mate dan betina menghasilkan rata-rata 10.000 telur berselubung (mikrofilaria) setiap hari mikrofilaria ini memasuki aliran darah dan pameran periodisitas nokturnal klasik dan subperiodicity. Nyamuk lain mengambil makan darah dan ingests mikrofilaria tersebut. Infeksi tergantung pada nyamuk mengambil makan darah selama episode periodik -. Ketika mikrofilaria yang hadir dalam aliran darah. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia malayi tipe periodik nokturna, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis pada daerah persawahan. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna, mikrofilaria ditemukan lebih banyak pada siang hari dalam darah tepi. Nyamuk penularnya adalah Mansonia sp pada daerah rawa.
Brugia timori adalah cacing gelang yang menyebabkan penyakit Timor filariasis. Siklus hidup Brugia timori sangat mirip dengan Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi , yang menyebabkan periodisitas nokturnal gejala penyakit. Brugia timori tersebar di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor, dan Sumba. Brugia timorii tipe non periodik, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam maupun siang hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba. Brugia timori tipe periodik nokturna, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbostis di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur dan Maluku Tenggara.
Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium III). Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumya laki-laki banyak terkena infeksi karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih nyata pada laki-laki karena pekerjaan fisik yang lebih berat. Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis criatatus), kera (Macaca fascicularis), dan kucing (Felis catus).
Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, keadaan geografis, stuktur geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hewan reservoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran Brugia malayi sub periodik nokturna dan non periodik. Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Misalnya, adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia sp. Daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air yang ditumbuhi tanaman air. Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah lingkungan yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk perilaku, adat istiadat, budaya, kebiasaan, dan perilaku penduduk. Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari, keluar pada malam hari, dan kebiasaan tidur berkaitan dengan intensitas kontak vektor. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor pada saat bekerja.
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan melepaskan selubungnya kemudian menembus dinding lambung nyamuk bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti sosis berukuran 125-250μm x 10-17μm dengan ekor runcing seperti cambuk setelah 3 hari. Larva tumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran 200-300μm x 15-30μm dengan ekor tumpul atau memendek setelah 6 hari. Pada stadium II larva menunjukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh menjadi larva stadium III (L3) yang berukuran 1400μm x 20μm. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan 10-14 hari pada spesies Wuchereria. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larva infektif. Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk kemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan.
Gejala-gejala yang terdapat pada penderita Filariasis meliputi gejala awal (akut) dan gejala lanjut (kronik). Gejala awal (akut) ditandai dengan demam berulang 1-2 kali atau lebih setiap bulan selama 3-4 hari apabila bekerja berat, timbul benjolan yang terasa panas dan nyeri pada lipat paha atau ketiak tanpa adanya luka di badan, dan teraba adanya tali urat seperti tali yang bewarna merah dan sakit mulai dari pangkal paha atau ketiak dan berjalan kearah ujung kaki atau tangan. Gejala lanjut (kronis) ditandai dengan pembesaran pada kaki, tangan, kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita sehingga menimbulkan cacat yang menetap
Menurut Depkes RI (2005), tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis yang dapat dilakukan adalah:
1. Melaporkan ke Puskesmas bila menemukan warga desa dengan pembesaran kaki, tangan, kantong buah zakar, atau payudara
2. Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari oleh petugas kesehatan
3. Minum obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan
4. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk penular.
5. Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan kelambu pada
saat tidur.
Menyusul kesepakatan global pada tahun 1997, WHA yang menetapkan filariasis sebagai masalah kesehatan masyarakat dan diperkuat dengan keputusan WHO pada tahun 2000 untuk mengeliminasi fiariasis pada tahun 2020, Indonesia sepakat untuk melakukan program eliminasi filariasis yang dimulai pada tahun 2002. Berdasarkan surat edaran Menteri Kesehatan nomor 612/MENKES/VI/2004 maka kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia melaksanakan pemetaan eliminasi filariasis gobal, pengobatan massal daerah endemis filariasis, dan tata laksana penderita filariasis di semua daerah. Program pelaksaan kasus filariasis ditetapkan sebagai salah satu wewenang wajib pemerintah daerah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor: 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang standar pelayanan minimal bidang kesehatan di Kabupaten/Kota. Kebijakan yang ditetapkan dalam program pemberantasan filariasis adalah:
1. Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional dalam program pemberantasan penyakit menular
2. Melaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia dengan menerapkan program eliminasi filariasis limfatik global dari WHO yaitu memutuskan rantai penularan filariasis dan mencegah serta membatasi kecacatan
3. Satuan lokasi pelaksanaan (implementation unit) eliminasi filariasis adalah Kabupaten/Kota
4. Mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, propinsi dan negara.
Strategi yang dilakukan dalam mendukung kebijakan dalam program pemeberantasan filariasis adalah:
1. Memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di daerah endemis filariasis
2. Mencegah dan membatasasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis Filariasis
3. Pengendalian vektor secara terpadu
4. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara
5. Memperkuat survailans dan mengembangkan penelitian

No comments:

Post a Comment