BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah
Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk aedes aegypti dan Aedes
albopitus. Faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian Demam
Berdarah Dengue sangat kompleks, antara lain iklim dan pergantian musim,
kepadatan penduduk, mobilitas penduduk dan transportasi. Berdasarkan kejadian
dilapangan dapat diidentifikasikan factor utama adalah kurangnya perhatian
sebagian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan tempat tinggal. Sehingga
terjadi genangan air yang menyebabkan berkembangnya nyamuk. Insiden dan
prevalensi penyakit Demam Berdarah Dengue menimbulkan kerugian pada individu,
keluarga dan masyarakat. Kerugian ini berbentuk kematian, penderitaan,
kesakitan, dan hilangnya waktu produktif.
Penyakit demam berdarah
dengue menjadi momok tiap tahun. Insiden di Indonesia antara 6 hingga 15 per
100.000 penduduk (1989-1995) dan pernah meningkat tajam saat Kejadian Luar
Biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, hingga tahun 2005 masih ada daerah berstatus Kejadian Luar
Biasa, sampai mei tahun 2005 di seluruh Indonesia tercatat 28.224 kasus dengan
jumlah kematian 348 orang, hingga awal oktober 2005 kasus demam berdarah dengue
di 33 propinsi tercatat 50.196 kasus dengan 701 diantaranya meninggal. Dari
data di atas menunjukkan peningkatan hampir 2 kali lipat dari mei hingga awal oktober
2005.
Demam berdarah dengue merupakan
penyakit yang bisa mewabah. Usaha untuk mengatasi masalah penyakit tersebut di
Indonesia telah puluhan tahun dilakukan, berbagai upaya pemberantasan vector,
tetapi hasilnya belum optimal. Secara teoritis ada empat cara untuk memutuskan
rantai penularan demam berdarah dengue, yaitu melenyapkan virus, isolasi
penderita, mencegah gigitan nyamuk dan pengendalian vector. Untuk pengendalian
vector dilakukan dengan tujuh cara yaitu dengan cara kimiawi, mekanis, fisik,
biologis, biofisikal, secara undang-undang dan integrasi. Namun angka penderita
dan kematian demam berdarah selalu meningkat. Penulis menyadari perlu adanya pengetahuan
tentang formulasi baru, guna memenuhi kebutuhan di daerah dalam penyediaan
insektisida alternatif sebagai salah satu pengendalian vector dengan cara kimiawi
yang sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai salah satu program kerja kesehatan.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana dosis efektif dari thermal fogging dalam
pengendalian aedes
aegypti sebagai vector demam berdarah dengue ?
2. Apakah dampak kesehatan dari thermal
fogging sebagai bentuk pengendalian vector demam berdarah dengue ?
3. Apabila memiliki dampak negative bagi
kesehatan, bagaimanakah solusi yang tepat untuk meminimalisir dampak dari thermal
fogging ?
C. Tujuan
Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui
dosis efektif dari thermal fogging dalam pengendalian aedes aegypti sebagai vector demam
berdarah dengue.
2.
Mengetahui
dampak kesehatan dari thermal fogging sebagai bentuk pengendalian vector demam
berdarah dengue.
3.
Mengetahui
solusi yang tepat untuk meminimalisir dampak dari thermal fogging.
D. Manfaat
Penulisan
1.
Diharapkan dapat dijadikan sebagai
salah satu sumber pengetahuan tentang pengendalian vektor demam berdarah dengue secara kimia.
2. Diharapkan
dapat dijadikan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Dasar-dasar Kesehatan
Lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Demam Berdarah
Pemberantasan sarang nyamuk demam
berdarah dengue adalah kegiatan mamberantas telur, jentik, dan kepompong nyamuk
penular Demam Berdarah Dengue (Aedes
Aegypti) di tempat – tempat perkembengbiakannya.
B.
Penyebab
Demam Berdarah
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari famili flaviviridae
dan genus flaviviridae. Virus ini
mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
serotipe yang menyebabkan infeksi paling berat di Indonesia, yaitu DEN-3. virus
dengue berukuran 35-45 nm.
C. Cara Penularan Demam Berdarah
Penyakit DBD ditularkan orang yang didalam darahnya
terdapat virus dengue. Orang ini bisa menunjukan gejala sakit, tetapi juga bisa
tidak sakit, yaitu juka mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus dengue.
Jika orang digigit nyamuk aedes aegypti
maka virus dengue masuk bersama darah yang diisapnya. Didalam tubuh nyamuk itu,
virus dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar
diseluruh bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus itu berada dalam kelenjar
liur nyamuk. Dalam tempo 1 minggu jumlahnya dapat mencapai atau puluhan bahkan
ratusan ribu sehingga siap untuk ditularkan/dipindahkan pada orang lain, maka
setelah alat tusuk (probosis) menemukan kapiler darah sebelum darah orang itu
dihisap, terlebih dulu dikeluarkan air liur dari kelenjar liurnya agar darah
yang diisap tidak membeku. Bersama dengan liur nyamuk inilah, virus dengue
dipindahkan kepada orang lain. (Masjoer, 2001)
D.
Cara
Memberantas Nyamuk Penular DBD
a.
Pemberantasan
Nyamuk (Dewasa)
Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa
dilakukan dengan cara penyemprotan/pengasapan (fogging) dengan insektisida.
Hal ini dilakukan mengingat kebiasaan nyamuk yang hinggap pada benda-benda
tergantung, karena itu tidak dilakukan penyemprotan di dinding rumah.
Insektisida yang dapat digunakan ialah insektisida golongan :
1.
Organophospate,
misalnya malathion, fenitrothion.
2.
Pyretroid
sintetic, misalnya lamda sihalotrin, permetrin.
3.
Carbamat.
Alat yang digunakan untuk menyemprot
ialah mesin Fog atau ULV. Penyemprotan dilakukan dengan cara pengasapan sehingga
tidak mempunyai efek residu. Penyemprotan insektisida ini dilakukan 2 siklus
dengan interval 1 minggu untuk membatasi penularan virus dengue. Pada
penyemprotan siklus I, semuanyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk
infektif) dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Tetapi akan segera muncul nyamuk-nyamuk
baru yang diantaranya akan menghisap darah penderita viremia yang masih ada
setelah penyemprotan siklus I, yang selanjutnya dapat menimbulkan penularan
virus dengue lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan penyemprotan siklus ke II.
Dengan penyemprotan yang ke II satu minggu setelah penyemprotan yang I, nyamuk
baru yang infektif ini akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain.
Penyemprotan insektisida ini dalam waktu singkat dapat membatasi penularan,
akan tetapi tindakan ini perlu diikuti dengan pemberantasan jentiknya agar
populasi nyamuk penular dapat ditekan serendah-rendahnya. Sehingga apabila ada
penderita DBD atau orang dengan viremia tidak dapat menular kepada orang lain.
b.
Pemberantasan
Jentik
Pemberantasan terhadap jentik Aedes
aegypti yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), dilakukan
dengan cara :
1.
Kimia
: Cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida
pembasmi jentik (larvasida) ini dikenal dengan istilah abatisasi.
Larvasida yang biasa digunakan adalah temephos. Formulasi temephos yang digunakan
ialah granules (sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram
(+ 1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Abatisasi dengan temephos ini
mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu dapat digunakan pula Bacillus thuringiensis
varisraeliensis (Bti) atau golongan insect growth regulator.
2.
Biologi
: Misalnya memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi).
3.
Fisik
: Cara ini dikenal dengan kegiatan 3 M (Menguras, Menutup, Mengubur) yaitu
menguras bak mandi atau WC, menutup tempat-penampungan air rumah tangga
(tempayan, drum dan lain-lain), serta mengubur atau memusnahkan barang-barang
bekas (seperti : kaleng, ban dan lain-lain). Pengurasan tempat-tempat
penampungan air (TPA) perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya
seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat itu.
E.
Prinsip Pengendalian Vector Terpadu (PVT)
Prinsip dasar PVT adalah surveilan epidemiologi dan
entomologis, manajemen lingkungan sehat, kajian bioteknologi serangga vector,
sosialisasi dan program aksi kesehatan lintas instansi, partisipasi aktif
masyarakat. Prinsip dasar itu dikembangkan dari tetra hedron hubungan vector
dan inang, lingkungan dan manusia sebagai factor utama yang patut menyadari
posisinya dalam pengelolaan terpadu vector penyakit tersebut. Terkait dengan
vector tersebut, perlu diketahui spesiesnya, sifat bioekologisnya dan sifat penularan
virusnya. Berkaitan dengan inang perlu juga diketahui kepadatan, karakteristik
social budayanya. Factor lingkungan seperti diuraikan sebelumnya mencakup
lingkunagn biotic. Dan abiotik yang erat hubungannya dengan dinamika populasi
vector.
Pada tahun 1980 WHO telah memberikan model
pengelolaan lingkungan untuk tujuan pengendalian vector DBD melalui modifikasi
dan manipulasi lingkungan serta mengubah kebiasaan dan perilaku manusianya
untuk pengurangan kontak vector inang pathogen. Keberhasilan dalam mengelola
vector tergantung dari pemahaman manusia terhadap eksistensi dan esensi vector
sebagai penularan penyakit DBD yang kehidupannya sangat dipengaruhi oleh
lingkungan dan inang. Keberadaan manusia dalam system tetrahedron itu
dimaksudkan untuk melihat tanggung jawab dan komitmennya dalam pengelolaan
lingkungan untuk tujuan memotong siklus hidup vector dan penyakit sehingga
inang penyakit baik manusia maupun hewan peliharaannya dapat dicegah dan
dikurangi kasus sakitnya.
Secara sosiologis individu manusia dan kelompok
masyarakat merupakan modal manusia dan modal social yang perlu mendapatkan
penekanan dalam system pengelolaan terpadu. Untuk itu partisipasi masyarakat
sanagt penting dalam system PVT baik secara individu maupun kelompok. Selain
itu kearifan local yang dimiliki oleh individu atau masyarakat perlu dipelajari
sebagai modal budaya dalam penanggulangan DBD. Penggunaan model social tersebut
pernah sukses untuk program KB dan system banjarnya. Modal social dan budaya
tersebut sangat memungkinkan untuk mengefektifkan gerakan serentak pengendalian
jentik nyamuk baik berkaitan dengan PSN atau aplikasi program 3M plusnya atau
manajemen lingkungan untuk mewujudkan
kondisi bebas jentik di masing-masing rumah sebagai mana diterapkan Malaysia
dan Singapura.
F. Insektisida
Penggunaan
suatu jenis pestisida ditujukan untuk mematikan suatu kelompok atau spesies
hama dan patogen tertentu, tetapi pada hakekatnya bersifat racun terhadap semua
organisme. Oleh karena itu penggunaan yang tidak terkontrol dan tidak selektif
ditambah dengan masukan dari lingkungan budidaya, dapat berdampak negatif
terhadap lingkungan maupun biota budidaya.
Malathion
adalah insektisida organofosphat non-sistemik yang memiliki spektrum yang luas,
dan mempunyai sifat yang sangat khas, yaitu dapat menghambat kerja
kolinesterase terhadap asetilkolin (Asetilcholinesterase Inhibitor) di dalam
tubuh. Malathion juga mempunyai sifat racun sangat tinggi (LC50-96
jam) pada ikan Rainbow trout 4,1 ppb dan 263 ppb pada Yellow perch (Martinez
et al. 2004). Insektisida malathion membunuh insekta dengan cara meracun
lambung, kontak langsung dan dengan pernapasan/uap. Dipergunakan untuk
mengontrol banyak tipe insekta. Malathion juga mempunyai sifat toksis pada
insekta yang cukup tinggi, sedangkan toksisitas pada mamalia relatif rendah,
sehingga banyak digunakan. Penggunaan malathion secara luas untuk membasmi
serangga dalam bidang kesehatan, pertanian, peternakan dan rumah tangga.
Insektisida mengalami proses biotransformasi di dalam darah, hati, sedangkan
tempat penimbunan utama di dalam jaringan lemak.
Malathion juga
dapat menyebabkan perubahan bentuk, ukuran dan pecahnya sel limfosit. Selain
itu malathion dapat menyebabkan degeneratif dan nekrose sel epitel tubulus
ginjal pada tikus. Penelelitian yanga sama juga dilaporkan McCarthy dan Fuiman
(2008) bahwa malathion dosis 0,1-1,0 μgl/l) mengganggu sintesis protein dan
pertumbuhan larva ikan Red drum.
Insektisida
malathion masuk ke lingkungan perairan dapat terjadi melalui berbagai jalur,
antara lain pemakaian langsung yang residunya berada di udara dan tanah,
limpasan dari persawahan. Pada saat hujan akan masuk ke kolam, tambak, daerah
muara melalui saluran air.
Perairan
pantai dan muara yang dangkal pada umumnya merupakan daerah yang sering terkena
pencemar, yang mana ikan merupakan ikan yang hidup di pantai-pantai dan di
muara sungai yang memiliki sifat euryhaline (perairan dengan variasi
salinitasi) serta terhadap goncangan salinitas yang tinggi dalam waktu yang
relatif singkat. Ikan bandeng berpotensi untuk terkontaminasi oleh insektisida
malathion karena hidupnya di daerah pantai yang merupakan tempat bermuaranya
polutan termasuk insektisida malathion. Untuk itu perlu dilakukan penelitian
mengenai toksisitas akut, biokonsentrasi dan bioeliminasi insektisida malathion
terhadap juvenil ikan bandeng.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian
dilakukan di wilayah Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga,
Jawa Tengah pada bulan Juli 2007. Hasil pengamatan tentang knocdown time (KT50 &
KT95 dan
kematian nyamuk uji Ae. aegypti) setelah terpapar insektisida LADEN
500EC dosis 250, 500, 750 dan 1000 ml/ha, dengan pembanding insektisida RIDER
500EC (dosis 1000 ml/ha) dengan aplikasi pengasapan (thermal fogging)
dengan pelarut solar, pengamatan di dalam dan di luar rumah. Disajikan pada
tabel 1 dan 2.
Tabel
1. Kematian (%), KT50 dan KT95 nyamuk Ae. aegypti setelah
aplikasi pengasapan (thermal fogging) Insektisida LADEN 500EC (pelarut
solar) di dalam dan di luar rumah
Dosis insektisida LADEN 500 EC
(ml/ha)
|
Dalam Rumah
|
Luar Rumah
|
||||
KT50
|
KT95
|
Kematian (%)
|
KT50
|
KT95
|
Kematian (%)
|
|
( menit)
|
( menit)
|
|||||
250
|
23,59
|
80,36
|
88,8
|
45,02
|
158,86
|
77,2
|
500
|
21,32
|
76,29
|
96,0
|
38,01
|
149,95
|
83,2
|
750
|
11,91
|
28,90
|
100
|
18,95
|
37,45
|
100
|
1000
|
8,10
|
16,65
|
100
|
14,32
|
24,76
|
100
|
Pembanding
|
||||||
Rider 500 EC
dosis 1000
|
9,30
|
17,08
|
100
|
14,72
|
28,26
|
100
|
Keterangan :
1) Uji probit waktu
kelumpuhan nyamuk selama 60 menit pengamatan pasca pengasapan
2) LDN : LADEN 500 EC; RDR :
RIDER 500EC
Tabel 2. Kematian (%), KT50 dan KT95 nyamuk
Ae. aegypti setelah aplikasi pengasapan (thermal fogging)
Insektisida LADEN 500EC (pelarut air) di dalam dan di luar rumah
Dosis insektisida LADEN 500 EC
(ml/ha)
|
Dalam Rumah
|
Luar Rumah
|
||||
KT50
|
KT95
|
Kematian (%)
|
KT50
|
KT95
|
Kematian (%)
|
|
( menit)
|
( menit)
|
|||||
250
|
23,89
|
82,98
|
88,0
|
45,75
|
163,39
|
76,4
|
500
|
24,13
|
73,58
|
95,2
|
39,74
|
139,72
|
82,4
|
750
|
18,14
|
45,20
|
100
|
25,21
|
65,93
|
100
|
1000
|
12,00
|
27,63
|
100
|
17,96
|
39,67
|
100
|
1000 (RDR)
|
14,82
|
38,84
|
100
|
21,45
|
48,77
|
100
|
250
|
23,89
|
82,98
|
88,0
|
45,75
|
163,39
|
76,4
|
Keterangan :
1) Uji probit waktu
kelumpuhan nyamuk selama 60 menit pengamatan pasca pengasapan
2) LDN : LADEN 500
EC; RDR : RIDER 500EC
Berdasarkan
perhitungan probit, waktu kelumpuhan = KT50 insektisida LADEN 500EC dosis
(500, 750 dan 1000 ml/ha) pelarut solar, terhadap Ae. aegypti di dalam
rumah, masing-masing adalah 21,32; 11,91 dan 8,10 menit, sedangkan RIDER 500EC
dosis 1000 ml/ha sebagai pembanding adalah 9,30 menit. Tetapi kematian nyamuk Ae.
aegypti di dalam rumah setelah pengasapan insektisida LADEN 500EC dosis 750
dan 1000 ml/ha, serta pembanding RIDER 500EC dosis 1000 ml/ha adalah 100%.
Waktu kelumpuhan KT50, insektisida LADEN 500EC dosis (500, 750 dan 1000
ml/ha) pelarut solar, terhadap Ae. aegypti di luar rumah, masing-masing
adalah 38,01; 18,95 dan 14,32 menit, sedangkan RIDER 500EC dosis 1000 ml/ha
sebagai pembanding adalah 14,72 menit. Kematian nyamuk Ae. aegypti di
luar rumah setelah pengasapan LADEN 500EC dosis 750 dan 1000 ml/ha, maupun
pembanding RIDER 500EC dosis 1000 ml/ha adalah 100%.
Perlakuan
insektisida LADEN 500EC (pelarut solar) terhadap nyamuk Ae. aegypti, pada
analisis probit (waktu
kelumpuhan KT50),
insektisida LADEN 500EC dosis (500, 750 dan 1000 ml/ha) pelarut air, terhadap
nyamuk uji Ae. aegypti di dalam rumah, masing-masing adalah 24,13; 18,14
dan 12,00 menit, sedangkan RIDER 500EC dosis 1000 ml/ha sebagai pembanding
(pelarut air) adalah 14,82 menit. Kematian nyamuk uji Ae. aegypti di
dalam rumah aplikasi pengasapan LADEN 500EC dosis 750 dan 1000 ml/ha (pelarut
air) adalah 100% sebanding dengan RIDER 500EC (pelarut air) dosis 1000 ml/ha.
Perhitungan probit, insektisida LADEN 500EC dosis (500, 750 dan 1000 ml/ha)
pelarut air, waktu kelumpuhan KT50 terhadap Ae. aegypti di luar
rumah, masing-masing adalah 39,74; 25,21 dan 17,96 menit, sedangkan RIDER 500EC
(pelarut air) dosis 1000 ml/ha sebagai pembanding adalah lebih lambat daripada
LADEN 500EC dosis 1000 ml/ha 21,45 menit. Kematian nyamuk uji Ae. aegypti di
luar rumah setelah pengasapan insektisida LADEN 500EC dosis 750 dan 1000 ml/ha,
adalah 100%, sama dengan pembanding RIDER 500EC dosis 1000 ml/ha.
Hasil
pengujian menunjukkan bahwa tidak ada kematian jentik nyamuk Ae. aegypti setelah
aplikasi pengasapan insektisida LADEN 500EC (dosis 250, 500, 750 dan 1000
ml/ha) dan insektisida RIDER 500EC dosis 1000 ml/ha (pelarut solar maupun air)
baik di dalam maupun di luar rumah. Pada analisis statistik dengan uji X2,
terbukti ada perbedaan kematian yang bermakna pada tiap-tiap dosis yang diuji
(P<0 1000="1000" 500="500" 500ec="500ec" 750="750" ada="ada" air="air" b.a="b.a" bermakna="bermakna" dalam="dalam" dan="dan" dilarutkan="dilarutkan" dosis="dosis" efektif="efektif" g="g" ha="ha" insektisida="insektisida" l="l" laden="laden" malathion="malathion" maupun="maupun" ml="ml" p="p" pada="pada" perbedaan="perbedaan" solar="solar" tetapi="tetapi" tidak="tidak" yaitu="yaitu" yang="yang">0,05), artinya dosis tersebut
mempunyai kemampuan yang sama untuk membunuh nyamuk nyamuk Ae. Aegypti.0>
B.
Faktor
Penyebab dan Dampak terhadap Kesehatan
Thermal fogging terbukti efektif dalam
pengendalian vector demam berdarah dengue karena menggunakan bahan kimia berupa
insektisida laden (b.a Malathion 500 g/l), dosis 750 dan 1000 ml/ha (dilarutkan
dalam solar maupun air). Malathion adalah insektisida organofosphat
non-sistemik yang memiliki spektrum yang luas, dan mempunyai sifat yang sangat
khas, yaitu dapat menghambat kerja kolinesterase terhadap asetilkolin
(Asetilcholinesterase Inhibitor) di dalam tubuh. Malathion juga mempunyai sifat
racun sangat tinggi (LC50-96 jam) pada ikan Rainbow trout 4,1
ppb dan 263 ppb pada Yellow perch (Martinez et al. 2004).
Insektisida malathion membunuh insekta dengan cara meracun lambung, kontak
langsung dan dengan pernapasan/uap. Dipergunakan untuk mengontrol banyak tipe
insekta. Malathion juga mempunyai sifat toksis pada insekta yang cukup tinggi,
sedangkan toksisitas pada mamalia relatif rendah, sehingga banyak digunakan..
Penggunaan malathion secara luas untuk membasmi serangga dalam bidang
kesehatan, pertanian, peternakan dan rumah tangga. Insektisida mengalami proses
biotransformasi di dalam darah, hati, sedangkan tempat penimbunan utama di
dalam jaringan lemak.
Pelaksanaan thermal fogging memiliki
banyak dampak negative. Dampak negative yang dapat ditimbulkan thermal foging yaitu
sebagai polutan yang mencemari makanan, air minum dan lingkungan rumah setelah
pelaksanaan fogging dapat mengganggu kesehatan warga baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada saat akan dilakukan fogging warga
dihimbau untuk menutup rapat-rapat makanan, air minum, air mandi, piring,
gelas, sendok dsb. Dalam hal ini belum semua warga melaksanakannya, bahkan pada
saat fogging masih banyak warga yang tidak mau keluar rumah, ada anak-anak yang
mengikuti penyemprot dan ada warga memasuki rumah sebelum asap fogging di dalam
rumah habis. Selain itu Fogging memerlukan biaya cukup besar (± Rp. 1.900.000
untuk fogging radius 200 meter) dan tenaga yang cukup banyak dan terlatih
(tidak efisien). Sedangkan daya bunuhnya hanya 1 – 2 hari, setelah itu nyamuk
akan menjadi banyak lagi dan akan mudah menularkan demam berdarah dengue.
Pelaksanaan fogging pada umumnya
memberikan kepuasan semu pada warga, sehingga merasa aman dan tidak melakukan
PSN (pemberantasan sarang nyamuk) lagi. Meski begitu terdapat beberapa dampak
dari thermal fogging menurur Inten yaitu :
1. Kandungan mala-thion pada asap fogging dapat menyebabkan
kelainan saluran cerna (gastrointestinal) dan bagi wanita hamil yang ter-papar
malathion risiko kelai-nan gastrointestinal pada anaknya 2,5 kali lebih besar.
2. Paparan malation ini juga mengakibatkan Leukemia pada anak-anak,
Aplastik anemia, gagal ginjal, dan defek pada bayi baru lahir. Bahkan juga
berperan dalam kerusakan gen dan kromosom, kerusakan paru serta penurunan
sistem kekebalan tubuh.
3.
Penelitian juga
menyimpulkan malation mempunyai peran terhadap 28 gangguan pada manusia, mulai
dari gangguan gerakan sperma hingga kejadian hiperaktif pada anak.
C.
Solusi
Melihat banyaknya dampak negative dari thermal
fogging maka harus dilakukan pembatasan dalam penggunaannya. Pembatasan
tersebut dapat berupa pengendalian vector secara kimiawi yang beriringan dengan
pengendalian vector demam
berdarah dengue lainnya
seperti :
1. Pengendalian fisik/mekanis yaitu
segala upaya pengendalian DBD menggunakan fisik seperti mengenakan pakaian yang
serba tertutup guna menghindari gigitan nyamuk dewasa. Sedangkan untuk
pengendalian fisik aquatic yaitu melaksanakan prisip 3M minimal sekali
seminggu.
2. Pengendalian biologis ditujukan untuk
mengurangi pencemaran lingkungan akibat pemakaian insektisida yang berasal dari
bahan-bahan beracun. Contoh pendekatan ini adalah pemeliharaan ikan untuk
pengendalian vector DBD aquatic.
3. Pengendalian biofisik yaitu merupakan
gabungan dari pengendalian biologis dan pengendalian fisik.
4. Pengendalian secara undang-undang
yaitu dengan berbagai usaha atau program pemerintah guna mengendalikan vector
DBD. Namun bukan berarti ada peraturan dan sanksi yang diperoleh jika tidak
melakukan program tersebut.
5. Penegndalian terpadu/terintegrasi.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian
sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Dosis efektif dari thermal fogging dalam pengendalian aedes aegypti sebagai vector demam
berdarah dengue yaitu insektisida LADEN 500EC (b.a Malathion 500 g/l) dosis 750
dan 1000 ml/ha baik dilarutkan dalam solar maupun air.
2. Dampak kesehatan dari thermal fogging yaitu
merupakan polutan dan mnyebabkan berbagai kelainan dalam tubuh manusia.
3.
Karena
thermal fogging memiliki dampak terhadap kesehatan maka sudah seaharusnya
pengendalian demam berdarah dengue menggunakan thermal fogging diminimalisir
dan dilakukan beriringan dengan pengendalian biologis, genetic dan lingkungan.
B. Saran
Berdasarkan simpulan,
direkomendasikan agar thermal fogging dilakukan hanya pada lokasi yang sedang terjadi penularan demam
berdarah dengue dan harus didahuli dan diikuti gerakan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) serentak.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Choirul.
2008. Fogging Bukan Solusi Terbaik lakukan
3M. http://mediainfokota.jogjakota.go.id/detail.php?berita_id=126. (7 September
2012)
Boesri, Hasan dan Damar tri Boewono. 2007. Jurnal Pengendalian
nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus denagn
Penyemprotan Sistem Pengasapan (thermal fogging) menggunakan Insektisida Laden
500EC. (9 September 2012)
Chandra, Budiman. 2006. Pengantar
Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. (8
September 2012)
Daun, Anwar.
2005. Dasar-dasar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Hasanuddin University Press.
Makassar. (7 September 2012)
Intan. 2010.
Dampak Fogging. http://bungajepun.blogspot.com/2010_03_01_archive.html. (7
September 2012)
Permai, Indah.
2010. Demam Berdarah Dengue. http://wadung.wordpress.com/2010/03/22/makalah-demam-berdarah-dengue/. (9
September 2012)
Yuiana, Mareta. 2008.
Satuan Penyuluhan Penyakit DBD. http://ners-blog.blogspot.com/2011/10/satuan-penyuluhan-penyakit-dbd.html (9
September 2012)
Makalah Ramdani
Makalah Ramdani
No comments:
Post a Comment