BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Produktivitas
kerja seorang tenaga kerja merupakan hasil nyata yang terukur, yang dapat dicapai
seseorang dalam lingkungan kerja yang nyata untuk setiap satuan waktu.
Produktivitas kerja tersebut dipengaruhi oleh kapasitas kerja (umur, jenis kelamin,
kesegaran jasmani, status gizi, antropometri), beban kerja, dan beban tambahan
akibat lingkungan yang terdiri dari beban kerja karena faktor fisik, kimia,
biologis, dan sosial (Tarwaka, 2004). Status gizi bagi pekerja adalah faktor
penentu produktivitas kerjanya, makanan bagi pekerjaan berat ibarat bensin
untuk kendaraan beban kerja yang terlalu berat sering disertai penurunan berat badan.
Status gizi merupakan salah satu factor yang menentukan kualitas sumber daya
manusia dan kualitas hidup. Oleh karena
itu program perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan, agar terjadi perbaikan
status gizi masyarakat (Blazos, et al.,2007). Peningkatan status gizi diarahkan
pada peningkatan intelektualitas, produktivitas kerja, prestasi belajar, dan
prestasi olahraga serta penurunan angka gizi salah (Hariadi, 2001).
Kesegaran
jasmani sangat diperlukan oleh semua orang baik dari anak-anak sampai usia
lanjut dan semua profesi tanpa terkecuali dengan kesegaram jasmani yang baik
tubuh akan terhindar dari berbagai macam penyakit (Lacquaniti et al., 2009).
Untuk dapat melaksanakan pekerjaannya, seorang tenaga kerja tidak hanya
memerlukan makan yang sehat dan bergizi dengan nilai kalori yang cukup sesuai
dengan jenis pekerjaan mereka, tetapi juga membutuhkan kesegaran jasmani yang baik
pula (Gubata et al., 2006). Meskipun secara fisik tenaga kerja dalam keadaan
sehat dengan asupan gizi yang cukup, tetapi apabila tidak segar maka tenaga
kerja tersebut dalam melakukan pekerjaanya akan cepat menjadi lelah. Pekerja yang
sehat, segar, dan bugar dapat meningkatkan eksiensi dan produkti! Tas perusahaan
(Häkkinen et al., 2009). Mengingat kondisi masing-masing perusahaan berbeda, maka
sebaiknya kegiatan kesegaran jasmani disesuaikan dengan kondisi masing-masing perusahan
(Budiono, 2003).
Dari
hasil wawancara pada tanggal 29 September 2007 pada kepala afdeling Plantukan/Blabak
diketahui juga para pekerja penyadap karet tidak pernah diberikan kegiatan yang
dapat meningkatkan kesegran jasmani seperti senam, sedangkan untuk masalah
kebutuhan gizi kerja pihak persahaan tidak memberikan asupan berupa makanan
tambahan di sela-sela waktu bekerja, namun digantikan dalam bentuk uang yang
dibayarkan per bulan, padahal bekerja berat tanpa asupan makanan yang cukup
akan mempengaruhi berat badan yang akan berpengaruh langsung pada keadaan status
gizi pekerja (Moehji, 2003). Sedangkan kegiatan kesegaran jasmani seperti senam
bila dilakukan secara rutin dapat meningkatkan derajat kesehatan yang pada
akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja pekerja (Depkes RI, 2001).
Latar
belakang di atas menjadi alasan ditelitinya hubungan antara kesegaran jasmani
dan status gizi dengan produktivitas kerja pekerja penyadap karet di Unit
Plantukan/Blabak PT. Perkebunan Nusantara IX Boja Kabupaten Kendal. Hasil
diharapkan meningkatkan produktivitas kerja melalui peningkatan antara
kesegaran jasmani dan status gizi pekerja.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka pokok permasalahannya adalah:
1. Bagaimana kesegaran jasmani, status gizi dan
produktivitas pekerja penyadap karet di unit Plantukan/ Blabak PT.
Perkebunan Nusantara IX Boja Kabupaten Kendal ?
2. Apakah
ada hubungan antara kesegaran jasmani dan gizi pekerja dengan produktivitas
kerja pekerja penyadap karet di unit Plantukan/Blabak PT. Perkebunan Nusantara
IX Boja Kabupaten Kendal ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
kesegaran jasmani dan status gizi pekerja penyadap karet di unit
Plantukan/ Blabak PT. Perkebunan Nusantara IX Boja Kabupaten Kendal.
2.
Mengetahui hubungan antara kesegaran jasmani dan
gizi pekerja dengan produktivitas kerja pekerja penyadap karet di unit
Plantukan/Blabak PT. Perkebunan Nusantara IX Boja Kabupaten Kendal.
D. Manfaat Penulisan
1.
Diharapkan dapat dijadikan salah satu pemenuhan
tugas individu pada mata kuliah Epidemiologi Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
2. Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan
bacaan tentang Epidemiologi Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kesegaran Jasmani
1. Definisi Kesegaran Jasmani
Mengenai definisi kesegaran
jasmani ada beberapa ahli memberikan pengertian sebagai berikut
: Kesegaran jasmani merupakan kemampuan seseorang untuk
melaksanakan tugas sehari-hari dengan kesungguhan dan tnggung jawab, tanpa
memiliki rasa lelah dan penuh semangat untuk menikmati penggunaan waktu luang
dan menghadapi kemungkinan berbagai bahaya dimasa yang akan datang (Ichsan,
1988).
Sadoso Sumosardjuno (1989 : 9)
mendefinisikan Kesegaran Jasmani adalah kemampuan seseorang untuk menunaikan
tugasnya sehari-hari dengan gampang, tanpa merasa lelah yang berlebihan, serta
masih mempunyai sisa atau cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggangnya dan
untuk keperluan-keperluan mendadak. dengan kata lain Kesegaran jasmani dapat
pula didefinisikan sebagai kemampuan untuk menunaikan tugas dengan baik
walaupun dalam keadaan sukar, dimana orang yang kesegaran jasmaninya kurang,
tidak akan dapat melakukannya. Agus Mukhlolid, M.Pd (2004 : 3) menyatakan bahwa
Kesegaran Jasmani adalah kesanggupan dan kemampuan untuk melakukan kerja atau
aktivitas, mempertinggi daya kerja dengan tanpa mengalami kelelahan yang
berarti atau berlebihan.
Sumosardjuno dan Giri Widjojo
menyatakan kesegaran jasmani adalah
kemampuan tubuh untuk menyesuaikan fungsi alat-alat tubuh dalam batas fisiologi
terhadap keadaan lingkungan atau kerja fisik secara efisien tanpa lelah
berlebihan. Suratman (1975) kesegaran jasmani adalah suatu aspek fisik dari
kesegaran menyeluruh (total fitness) yang memberi kesanggupan kepada seseorang
untuk menjalankan hidup yang produktif dan dapat menyesuaikan pada tiap
pembebanan atau stres fisik yang layak.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kesegaran jasmani adalah aspek-aspek kemampuan fisik yang menunjang
kesuksesan seseorang dalam melakukan berbagai aktivitas dalam kehidupannya.
Semakin tinggi tingkat Kesegaran jasmani seseorang, maka semakin besar
pula kemungkinannya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan semakin besar pula
untuk menikmati kehidupan.
2.
Fungsi Kesegaran Jasmani
Kesegaran Jasmani mempunyai fungsi yang sangat penting
bagi kehidupan seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Kebugaran
jasmani berfungsi untuk meningkatkan kemampuan kerja bagi siapapun yang
memilikinya sehingga dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara optimal untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik. Dari hasil seminar kebugaran jasmani
nasional pertama yang dilaksanakan diJakarta pada tahun 1971 dijelaskan bahwa
fungsi kebugaran jasmani adalah untuk mengembangkan kekuatan, kemampuan, dan
kesanggupan daya kreasi serta daya tahan dari setiap manusia yang berguna untuk
mempertinggi daya kerja dalam pembangunan dan pertahanan bangsa dan negara. Fungsi khusus dari kesegaran jasmani
terbagi menjadi tiga golongan sebagai berikut:
a.
Golongan pertama yang berdasarkan pekerjaan : Misalnya
kebugaran jasmani bagi olahragawan untuk meningkatkan prestasi, kebugaran
jasmani bagi karyawan untuk meningkatkan produktivitas kerja, dan kebugaran
jasmani bagi pelajar untuk mempertinggi kemampuan belajar.
b.
Golongan kedua berdasarkan keadaan : Misalnya kebugaran
jasmani bagi orang-orang cacat untuk rehabilitasi, dan kebugaran jasmani bagi
ibu hamil untuk mempersiapkan diri menghadapi kelahiran.
c.
Golongan ketiga berdasarkan umur : Bagi anak-anak untuk
merangsang pertumbuhan dan perkembangan, dan kebugaran jasmani bagi orang tua
untuk meningkatkan daya tahan tubuh ( Agus Mukholid, M.Pd, 2004 : 3).
3.
Komponen Kesegaran Jasmani
a. Kesegaran
jasmani terdiri dari dua bagian, yaitu :Kesegaran
jasmani yang berhubungan
dengan kesehatan (healtah related fitness)terdiri dari : daya tahan jantung
paru (cardiorespiatory), kekuatan otot, daya tahan otot, fleksibilitas, dan
komposisi tubuh.
b. Kesegaran
jasmani yang berhubungan dengan keterampilan (skill related) terdiri dari :
kecepatan, power, keseimbangan, kelincahan, koordinasi dan kecepatan reaksi
(Mutohir dan Gusril, 2004 :72)
Menurut
Sadoso Sumosardjuno (1989 : 9), mengelompokkan Kesegaran jasmani dalam 4
komponen pokok diantaranya :
a. Ketahanan
jantung dan peredaran darah (cardiovascular endurance)
b. Kekuatan
(strength)
c. Ketahanan
otot (muscular endurance)
d. Kelenturan
(flexibility)
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disarikan bahwa komponen-komponen pokok yang berkaitan
dengan kesegaran jasmani, yaitu:
a. Kesanggupan
dan kemampuan (kapasitas) seseorang dalam melakukan tugas sehari-hari.
b. Meningkatkan
daya kerja terutama fungsi jantung, peredaran darah, paru dan otot.
c. Tanpa
mengalami kelelahan yang berarti, yakni : adanya pemulihan kembali.
d. Masih
memiliki cadangan energi
e. Secara
umum membantu peningkatan kualitas hidup seseorang.
4.
Jenis dan Takaran Pelatihan Olahraga untuk Meningkatkan
Kebugaran Jasmani
Adapun beberapa
macam bentuk pelatihan olahraga sebagai sarana untuk pembinaan dan pemeliharaan
kesegaran jasmani, yaitu antara lain : jalan, joging, bersepeda, berenang dan
bentuk-bentuk pelatihan fisik lain yang penting ada penekanan pada unsur
aerobik. Sedangkan mengenai takarannya, sumosarjuno (1983) dalam Wiryosaputro
(1988 : 230), mengemukakan bahwa agar pelatihan fisik dapat berjalan dengan
aman dan efektif, maka dibutuhkan catatan yang harus memperhatikan 3 faktor
yaitu :
a.
Intensitas pelatihan :
Intensitas pelatihan fisik yang dianjurkan dalam rangka meningkatkan
kesegaran jasmani sebaiknya antara 60% dan 80% dari kapasitas aerobic maksimal,
atau antara 72%/87% dari denyut nadi yang dianjurkan akan berdampak kurang baik
terhadap kesehatan.
b.
Lamanya pelatihan :
Sebaiknya pelatihan fisik yang dianjurkan adalah berlatih sampai
mencapai “training zone” (sesuai dengan denyut nadi maksimal), dan berada dalam
training zone selama 15-25 menit.
c.
Frekuensi latihan :
Dianjurkan untuk melakukan pelatihan fisik dengan frekuensi pelatihan
3-5 kali setiap minggu yang berhubungan erat dengan intensitas dan lamanya
pelatihan.
Berkaitan dengan
takaran pelatihan seperti tersebut diatas Giam dan Teh (1992:17), menyatakan
bahwa bagi mereka yang cukup sehat dan memiliki kebugaran yang baik, sesuai
petunjuk resep FITT dapat memberikan manfaat maksimal terhadap tingkat
kebugaran. Adapun anjuran
tersebut adalah sebagai berikut :
a. Frekuensi
adalah 3-5 kali setiap minggu
b. Intensitas
adalah kurang lebih 60-85% dari denyut nadi maksimal.
c. Tipe
(macam pelatihan) adalah suatu macam kombinasi pelatihan aerobik dan aktifitas
kalestenik (senam). Pilihan aktifitas tersebut berdasarkan selera, keadaan dan
kebugaran tersedianya fasilitas yang digunakan.
d. Time
(waktu pelatihan) adalah 15-20 menit pelatihan yang bersifat aerobik yaang
dilakukan terus-menerus dan didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri
dengan pendinginan selama 5-10 menit.
B.
Status Gizi
1.
Definisi Status Gizi
Status gizi
adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari
makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi
dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi
lebih (Almatsier, 2005). Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi
dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan
energi yang dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu.
Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak
dan zat gizi lainnya (Nix, 2005). Status gizi normal merupakan keadaan yang
sangat diinginkan oleh semua orang (Apriadji, 1986).
Status gizi
kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition
merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih
sedikit dari energy yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah
energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu (Wardlaw,
2007).
Status gizi
lebih (overnutrition) merupakan
keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih
besar dari jumlah energi yang dikeluarkan (Nix, 2005). Hal ini terjadi karena
jumlah energi yang masuk melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk
seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan
seseorang menjadi gemuk (Apriadji, 1986).
2. Penilaian
Status Gizi
Penilaian
status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang diperoleh dengan
menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu populasi atau individu
yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih (Hartriyanti dan
Triyanti, 2007). Penilaian status gizi terdiri dari dua jenis, yaitu :
a.
Penilaian Langsung
1)
Antropometri
Antropometri
merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang berhubungan dengan ukuran
tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Pada umumnya
antropometri mengukur dimensi dan komposisi tubuh seseorang (Supariasa, 2001).
Metode antropometri sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan
protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi
zat-zat gizi yang spesifik (Gibson, 2005).
2)
Klinis
Pemeriksaan
klinis merupakan cara penilaian status gizi berdasarkan perubahan yang terjadi
yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun kelebihan asupan zat gizi.
Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan epitel yang terdapat di mata,
kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang dekat dengan permukaan tubuh
(kelenjar tiroid) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
3)
Biokimia
Pemeriksaan
biokimia disebut juga cara laboratorium. Pemeriksaan biokimia pemeriksaan yang
digunakan untuk mendeteksi adanya defisiensi zat gizi pada kasus yang lebih
parah lagi, dimana dilakukan pemeriksaan dalam suatu bahan biopsi sehingga
dapat diketahui kadar zat gizi atau adanya simpanan di jaringan yang paling
sensitif terhadap deplesi, uji ini disebut uji biokimia statis. Cara lain
adalah dengan menggunakan uji gangguan fungsional yang berfungsi untuk mengukur
besarnya konsekuensi fungsional daru suatu zat gizi yang spesifik Untuk
pemeriksaan biokimia sebaiknya digunakan perpaduan antara uji biokimia statis
dan uji gangguan fungsional (Baliwati, 2004).
4)
Biofisik
Pemeriksaan biofisik merupakan salah satu penilaian status
gizi dengan melihat kemampuan fungsi
jaringan dan melihat perubahan
struktur
jaringan yang dapat digunakan dalam keadaan tertentu, seperti kejadian buta
senja (Supariasa, 2001).
b.
Penilaian Tidak Langsung
1)
Survei Konsumsi Makanan
Survei
konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat
jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu maupun keluarga. Data
yang didapat dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Data kuantitatif
dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sedangkan data
kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan cara seseorang maupun keluarga
dalam memperoleh pangan sesuai dengan kebutuhan gizi (Baliwati, 2004).
2)
Statistik Vital
Statistik
vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui data-data
mengenai statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi, seperti angka
kematian menurut umur tertentu, angka penyebab kesakitan dan kematian,
statistik pelayanan kesehatan, dan angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan
kekurangan gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).
3)
Faktor Ekologi
Penilaian
status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah gizi dapat terjadi
karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor biologis, faktor
fisik, dan lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan faktor ekologi digunakan
untuk mengetahui penyebab kejadian gizi salah (malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat
berguna untuk melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2001).
3. Masalah
Kurang Gizi
Konsumsi
makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau
status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang
digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan
otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya
asupan makanan (Sampoerno, 1992). Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang
mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh (Almatsier,
2001).
Akibat yang
terjadi apabila kekurangan gizi antara lain menurunnya kekebalan tubuh (mudah
terkena penyakit infeksi), terjadinya gangguan dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan, kekurangan energi yang dapat menurunkan produktivitas tenaga
kerja, dan sulitnya seseorang dalam menerima pendidikan dan pengetahuan
mengenai gizi (Jalal dan Atmojo, 1998).
Gizi kurang
merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh negara-negara yang
sedang berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah,
pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status
gizi. Contoh masalah kekurangan gizi, antara lain KEP (Kekurangan Energi
Protein), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), Anemia Gizi Besi (AGB)
(Apriadji, 1986).
4. Masalah
Gizi Lebih
Status
gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang mengalami kelebihan berat
badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah asupan energi yang disimpan dalam
bentuk cadangan berupa lemak. Ada yang menyebutkan bahwa masalah gizi lebih
identik dengan kegemukan. Kegemukan dapat menimbulkan dampak yang sangat
berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti diabetes
mellitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan ginjal dan masih banyak
lagi (Soerjodibroto, 1993).
Masalah
gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight
dan obesitas. Batas IMT untuk dikategorikan overweight adalah antara
25,1 – 27,0 kg/m2, sedangkan obesitas adalah ≥ 27,0 kg/m2. Kegemukan (obesitas)
dapat terjadi mulai dari masa bayi, anak-anak, sampai pada usia dewasa.
Kegemukan pada masa bayi terjadi karena adanya penimbunan lemak selama dua
tahun pertama kehidupan bayi. Bayi yang menderita kegemukan maka ketika menjadi
dewasa akan mengalami kegemukan pula. Kegemukan pada masa anak-anak terjadi
sejak anak tersebut berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara
bertahap akan terus mengalami kegemukan sampai usia dewasa. Kegemukan pada usia
dewasa terjadi karena seseorang telah mengalami kegemukan dari masa anak-anak
(Suyono, 1986).
C.
Produktivitas Pekerja
1.
Definisi
Produktivitas Kerja
Produktivitas
kerja sebenarnya mencakup tentang suatu sikap mental yang selalu mempunyai
pandangan kehidupan mengenai pelaksanaan produksi didalam suatu perusahaan
dimana dalam memproduksi untuk hari ini diharapkan lebih baik dari hari kemarin
begitu juga sistem kerjanya. Seseorang selalu mencari perbaikanperbaikan dengan
berfikir dinamis, kreatif serta terbuka.
Pengertian
dari produktivitas, berikut ini pembahasan yang dikemukakan oleh Sukamto
(1995), dalam bukunya yang berjudul manajemen produksi replasi menyatakan bahwa
: “Produktivitas adalah nilai output dalam hubungan dengan suatu kesatuan input
tertentu. Peningkatan produktivitas yang berarti jumlah sumber daya yang
digunakan dengan jumlah barang dan jasa yang diproduksi semakin meningkat dan
membaik”. Sedangkan menurut Moekijat (1999), produktivitas adalah “Perbandingan
jumlah keluaran (output) tertentu dengan jumlah masukan (input) tertentu untuk
jangka waktu tertentu”.
Menurut L.
Greenberg dalam Sinungan (2009), mendefinisikan produktivitas sebagai
perbandingan antara totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi totalitas
masukan selama periode tersebut. Produktivitas juga diartikan sebagai
perbandingan ukuran harga bagi masukan dan hasil, perbedaan antara kumpulan
jumlah pengeluaran dan masukan yang dinyatakan dalam satu – satuan (unit) umum.
Kesimpulan
dari uraian diatas bahwa produktivitas adalah suatu ukuran mengenai apa yang
diperoleh dari apa yang dibutuhkan. Perawat memegang peranan utama dalam proses
peningkatan produktivitas, karena alat produksi dan teknologi pada hakikatnya
merupakan hasil karya manusia. Produktivitas perawat mengandung pengertian
pernbandingan hasil yang dicapai perawat dengan jangka waktu tertentu.
2. Ciri
Pegawai Produktif
Ranftl dalam
Timpe (2000), mengemukakan ciri – ciri pegawai yang produktif sebagai berikut;
a). lebih dari memenuhi kualifikasi pekerjaan; kualifikasi pekerjaan dianggap
hal yang mendasar, karena produktivitas tinggi tidak mungkin tanpa kualifikasi
yang benar; b). bermotivasi tinggi; motivasi sebagai faktor kritis, pegawai
yang bermotivasi berada pada jalan produktivitas tinggi; c). mempunyai
orientasi pekerjaan positif; sikap seseorang terhadap tugasnya sangat
mempengaruhi kinerjanya, faktor positif dikatakan sebagai faktor utama
produktivitas pegawai; d). dewasa; pegawai yang dewasa memperlihatkan kinerja
yang konsisten dan hanya memerlukan pengawasan minimal; e). dapat bergaul
dengan efektif; kemampuan
untuk
menetapkan hubungan antar pribadi yang positif adalah aset yang sangat
meningkatkan produktivitas.
Sudarmayanti
dalam Umar (2000), mengutip tentang ciri – cirri individu yang produktiv dari
Erich dan Gilmore, yaitu : a). tindakan konstruktif; b). percaya diri; c).
mempunyai rasa tanggung jawab; d). memiliki rasa cinta terhadap pekerjaannya;
e). mempunyai pandangan kedepan; f). mampu menyelesaikan persoalan; g). dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah; h). mempunyai konstribusi
positif terhadap lingkungan; i). mempunyai kekuatan untuk mewujudkan
potensinya.
3. Faktor
yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja
Hasibuan
(2001), mengatakan bahwa pendidikan, pelatihan dan motivasi kerja akan
mempengaruhi produktivitas kerja. Sinungan (1997), mengatakan salah satu untuk
mendorong peningkatan produktivitas adalah melalui peningkatan ketrampilan. Hal
ini bertujuan agar setelah pelatihan seorang mampu mengemban tugas dan
pekerjaan sebaik mungkin sehingga pada akhirnya dapat mendorong kemajuan setiap
usaha.
Hariandja
(2002), mengatakan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi produktivitas
adalah: kemampuan; kecakapan yang dimiliki berdasarkan pengetahuan, lingkungan
kerja yang menyenangkan menambah kemampuan tenaga kerja. Sikap; yang menyangkut
perangai tenaga kerja yang banyak dihubungkan dengan moral dan semangat kerja.
Situasi dan keadaan lingkungan; faktor ini menyangkut fasilitas dan keadaan
dimana semua karyawan dapat bekerja dengan tenang serta sistem kompensasi yang
ada. Motivasi; tiap tenaga kerja perlu diberikan motivasi dalam usaha meningkatkan
produktivitas. Upah; upah atau gaji minimum yang tidak sesuai dengan peraturan
pemerintah dapat menyebabkan penurunan produktivitas kerja. Tingkat pendidikan;
latar belakang pendidikan dan latihan dari tenaga kerja akan mempengaruhi
produktivitas, karena perlu diadakan peningkatan pendidikan dan latihan bagi
tenaga kerja. Perjanjian kerja; merupakan alat yang menjamin hak dan kewajiban
karyawan sebaiknya ada unsur – unsur peningkatan produktivitas kerja. Penerapan
teknologi; kemajuan teknologi sangat mempengaruhi produktivitas, karena itu
penerapan teknologi harus berorientasi mempertahankan produktivitas.
Rivianto dalam
Sinungan (2009), produktivitas tenaga kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor
baik yang berhubungan dengan tenaga maupun faktor – faktor lain seperti:
pendidikan dan ketrampilan, karena pada dasarnya pendidikan dan latihan
meningkatkan ketrampilan kerja; ketrampilan fisik dipengaruhi oleh gizi dan
kesehatan dimana factor gizi dan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat
penghasilan; penggunaan sarana – sarana produksi alat yang digunakan (manual,
semi manual, mesin), teknologi dan lingkungan kerja; kemampuan manajerial
menggerakan dan mengarahkan tenaga kerja dan sumber – sumber yang lain, serta
kesempatan yang diberikan.
BAB III
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Pengumpulan data dan penulisan makalah ini dilakukan
dengan cara penelitian
kepustakaan (library research), yang dilakukan setiap hari dalam kurun waktu satu
minggu.
B.
Setting Penelitian
Populasi dalam penelitian ini
adalah tenaga kerja penyadap karet di unit Plantukan/Blabak PT. Perkebunan
Nusantara IX Boja Kabupaten Kendal yang berjumlah 118 orang pekerja. Besar
sampel minimal dalam penelitian ini (Lemeshow, 1997) didapatkan 52 orang.
Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan kriteria restriksi,
yaitu: (1) Umur sampel 20-39 tahun; (2) Jenis kelamin laki-laki.
C.
Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
Instrumen
dalam penelitian ini adalah bangku harvard dengan tinggi 48 cm, stop watch dan
metronom, lembar observasi untuk mencatat hasil pengukuran produktivitas kerja,
pengukuran status gizi dengan IMT menggunakan alat timbangan injak untuk
mengetahui data berat badan, dan microtoice untuk mengetahui data tinggi badan.
D. Teknik
Analisis Data
Penelitian
ini bersifat penelitian penjelasan dengan menggunakan desain penelitian analitik
observasional serta pendekatan belah lintang. Variabel bebas yang diteliti
adalah kesegaran jasmani dan status gizi. Variabel terikatnya adalah
produktivitas kerja. Adapun variabel perancunya adalah variabel umur dan jenis
kelamin.
Analisis
univariat digunakan pada setiap variabel untuk mengetahui distribusi dan
persentase dari masing masing kategori. Dalam penelitian ini analisis dilakukan
pada variabel tingkat kesegaran jasmani, status gizi, dan produktivitas kerja.
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel bebas dan
variabel terikat secara sendiri-sendiri. Uji statistik yang digunakan yaitu uji
chi-square.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Kesegaran Jasmani, Status Gizi dan
Produktivitas Pekerja Penyadap Karet di Unit Plantukan/ Blabak PT.
Perkebunan Nusantara IX Boja Kabupaten Kendal
Analisis
univariat digunakan pada setiap variabel untuk mengetahui distribusi dan
persentase dari masing masing kategori. Dalam penelitian ini analisis dilakukan
pada variabel tingkat kesegaran jasmani, status gizi, dan produktivitas kerja.
Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel bebas dan
variabel terikat secara sendiri-sendiri. Uji statistik yang digunakan yaitu uji
chi-square.
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden
Sumber :
Data Sekunder
A. Hubungan antara Kesegaran Jasmani dan Gizi
Pekerja dengan Produktivitas Kerja Pekerja Penyadap Karet di Unit
Plantukan/Blabak PT. Perkebunan Nusantara IX Boja Kabupaten Kendal
Hasil uji
statistik chi-square menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat kesegaran
jasmani dengan produktivitas kerja pekerja penyadap karet. Hal ini ditunjukkan dari
hasil uji chi-square sebesar 6,813 dengan signikansi 0,033. Menurut Lutan
(2000), kesegaran jasmani lebih menggambarkan kualitas kemampuan organ tubuh
dalam menjalankan fungsinya dan kelangsungan fungsi itu terjadi dalam sebuah
sistem. Keseluruhan organ bekerja dalam satu keterkaitan yang komplek dan utuh,
seperti misalnya sistem pembuluh darah, sistem pernafasan, dan sistem
metabolisme. Secara umum sering diartikan sebagai derajat kemampuan seseorang
untuk menjalankan tugas dengan derajat yang moderat, serta dapat meningkatkan
produktivitas kerja. Karena kesegaran jasmani merupakan penunjang penting
produktivitas seseorang dalam kerjanya. Kesegaran tersebut dimulai sejak
memasuki pekerjaan dan terus-menerus dipelihara selama bekerja, bahkan sampai
berhenti bekerja. Untuk dapat melaksanakan pekerjaan nya, seorang tenaga kerja
tidak hanya memerlukan makan yang sehat dan bergizi dengan nilai kalori yang
cukup sesuai dengan jenis pekerjaan mereka, tetapi juga membutuhkan kesegaran
jasmani yang baik pula. Meskipun secara fisik tenaga kerja dalam keadaan sehat dengan
asupan gizi yang cukup, tetapi apabila tidak segar maka tenaga kerja tersebut
dalam melakukan pekerjaanya akan cepat menjadi lelah. Pekerja yang sehat, segar
dan bugar dapat meningkatkan e siensi dan produktivitas perusahaan. Mengingat
kondisi masing-masing perusahaan berbeda, maka sebaiknya kegiatan kesegaran
jasmani disesuaikan dengan kondisi
masing-masing
perusahan (Budiono, 2003).
Aktivitas
fisik dan olah raga merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari karena
berkaitan langsung dengan kemampuan fisik, agar orang dalam melaksanakan tugas
sehari-hari pada tingkat kesegaran jasmani yang optimal. Dengan melakukan
olahraga secara baik, benar, dan teratur akan dicapai derajat kesehatan dan
tingkat kesegaran jasmani yang optimal sebagai modal penting dalam meningkatkan
produktivitas kerja dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Depkes
RI,2001).
Hasil uji
statistik chi-square menunjukkan ada hubungan antara status gizi dengan produktivitas
kerja pekerja penyadap karet. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji chi-square sebesar
5,395 dengan signi kansi 0,020. Menurut pendapat Budiono (2003), kesehatan
tenaga kerja dan produktivitas kerja berat bertalian dengan status gizi. Bahwa
gizi merupakan suatu segi bagi kesehatan, dalam hubungan dengan produktivitas kerja
seorang tenaga kerja dengan keadaan gizi yang baik akan memiliki kapasitas
kerja dan ketahanan tubuh yang lebih baik.
Tabel 2.
Hubungan Antara Tingkat Kesegaran Jasmani dan Status Gizi dengan Produktivitas
Kerja Pekerja Penyadap Karet di Unit Plantukan/Blabak PT. Perkebunan Nusantara
IX Boja Kabupatan Kendal
BAB
V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat ditarik
simpulan sebagai berikut:
1. Tingkat
kesegaran jasmani pekerja penyadap karet di unit Plantukan/Blabak PT.
Perkebunan Nusantara IX Boja Kabupaten Kendal sebagian besar pada kategori baik
yaitu sebanyak 28 orang (51 %) dari keseluruhan sampel. Status gizi pekerja
penyadap karet di unit Plantukan/Blabak PT. Perkebunan Nusantara IX Boja
Kabupaten Kendal sebagian besar pada kategori normal yaitu sebanyak 33 orang
(60 %). Produktivitas kerja pekerja penyadap karet di unit Plantukan/Blabak PT.
Perkebunan Nusantara IX Boja Kabupaten Kendal sebagian besar pada kategori
tinggi yaitu sebanyak 34 orang (62 %).
2. Ada
hubungan antara tingkat kesegaran jasmani dengan produktivitas kerja pekerja
penyadap karet di unit Plantukan/Blabak PT. Perkebunan Nusantara IX Boja
Kabupaten Kendal (p=0,033). Ada hubungan antara status gizi dengan
produktivitas kerja pekerja penyadap karet di unit Plantukan/Blabak PT.
Perkebunan Nusantara IX Boja kabupaten Kendal (p=0,020).
B. Saran
Berdasarkan simpulan, direkomendasikan :
1. Bagi
tenaga kerja penyadap karet di unit Plantukan/Blabak PT. Perkebunan Nusantara
IX Boja Kabupatan Kendal yang mempunyai tingkat kesegaran jasmani yang baik dan
status gizi yang normal hendaknya mempertahan kannya dengan cara makan makanan
seimbang dan berolahraga secara teratur, sedangkan bagi tenaga kerja yang
mempunyai tingkat kesegaran jasmani yang kurang dan status gizi yang tidak
normal hendaknya menerapkan pola hidup sehat dengan makan makanan yang seimbang
sehingga memiliki status gizi yang normal dan olahraga dengan teratur.
2.
Bagi pengambil kebijakan diharap agar lebih
memperhatikan pekerja terutama dalam hal gizi kerja yaitu dengan tidak
mengganti jatah makanan tambahan dengan uang sehingga program gizi kerja dapat
tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, Eko Haris
dkk. 2010. Hubungan Antara Tingkat Kesegaran Jasmani dan Status Gizi dengan
Produktivitas Kerja. Jurnal Kesehatan Masyarakat. [1 Mei 2013]
Ichsan, 1988. Pendidikan Kesehatan dan
Olahraga Jakarta, hlm 53-64. [1 Mei 2013]
Khairina, Desy. 2008.
Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi. Skripsi
FKM Universitas Indonesia. [1 Mei 2013]
Nieman David C, Kebugaran dan Kesehatan
Anda alih bahasa Syahrastani, M Kes, Universitas Negeri Padang 2004. [1
Mei 2013]
maaf kak ,,ne recomended banget..kalau boleh dibagi file nya kak...
ReplyDeleteboleh , hubungi saja fb saya
ReplyDelete