Wednesday, May 15, 2013

Obesitas sebagai Masalah Kesehatan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Gemuk merupakan suatu kebanggaan dan merupakan kriteria untuk mengukur kesuburan dan kemakmuran suatu kehidupan, sehingga pada saat itu banyak orang berusaha menjadi gemuk dan mempertahankanya sesuai dengan status sosialnya, dalam perkembangan selanjutnya justru sebaliknya kegemukan atau obesitas selalu berhubungan dengan kesakitan dan peningkatan kematian (Hermawan, A Guntur, 2010).
Kegemukan dan obesitas menurut WHO didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan yang menyajikan risiko bagi kesehatan. Sebuah ukuran populasi mentah obesitas adalah indeks massa tubuh (BMI), berat badan seseorang (dalam kg) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan nya (dalam meter). Seseorang dengan BMI 30 atau lebih umumnya dianggap obesitas. Seseorang dengan BMI sama dengan atau lebih dari 25 dianggap kelebihan berat badan.

Menurut World Health Organization (WHO), obesitas merupakan salah satu daripada 10 kondisi yang berisiko di seluruh dunia dan salah satu daripada 5 kondisi yang berisiko di negara-negara berkembang. Prevalensi obesitas di seluruh dunia baik di negara berkembang maupun negara yang sedang berkembang telah meningkat dalam jumlah yang mengkhawatirkan (Aneja A. et al., 2004: Flier J.S and Flier E.M, 2008).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2011, tingkat obesitas di dunia telah meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 1980. Bahkan, hampir 43 juta anak-anak balita mengalami kelebihan berat badan (overweight) pada 2010.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2010, angka overweight dan obesitas pada penduduk usia di atas 18 tahun tercatat sebanyak 27,1%. prevalensi obesitas pun lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding dengan pedesaan, dan lebih tinggi pada kelompok masyarakat bependidikan lebih tinggi serta bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/Pegawai. Sedang berdasarkan jenis kelamin, prevalensi obesitas pada perempuan lebih tinggi (26,9%) dibanding laki-laki (16,3%). semakin tinggi tingkat pengeluran rumah tangga per kapita pun mempunyai kecenderungan semakin tinggi prevalensi obesitasnya.
Prevalensi Obesitas Sentral pada penduduk umur 15 tahun ke atas menurut karakteristik subjek provinsi Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa, prevalensi obesitas sentral pada laki-laki 8,3 %, pada perempuan 26,8% dan prevalensi obesitas sentral tertinggi berdasarkan karakteristik pekerjaan pada ibu rumah tangga sebesar 33,4% (Riskesdas 2007). Prevalensi obesitas sentral untuk Sulawesi Selatan tahun 2007 adalah 18,3% sedikit lebih rendah dari angka nasional (18,8%). Dari 23 kabupaten/kota, Kota Makassar dan Kota Pare-Pare dengan prevalensi masingmasing 23,8% dan 23,9%. Dari 23 kabupaten/kota, 10 di antaranya memiliki prevalensi obesitas sentral di atas angka prevalensi provinsi (Riskesdas,2007).
Kegemukan dan obesitas merupakan faktor risiko utama untuk sejumlah penyakit kronis. Setelah dianggap sebagai masalah hanya di negara-negara berpenghasilan tinggi, kelebihan berat badan dan obesitas sekarang secara dramatis meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, khususnya di daerah perkotaan. Untuk itu pada kesempatan kali ini penulis akan menguraikan tentang obesitas sebagai masalah kesehatan.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pokok permasalahannya adalah :
1.      Bagaimana obesitas sebagai masalah kesehatan ?
2.      Program apa saja yang dapat diadopsi dari negara maju untuk mengatasi obesitas sebagai masalah kesehatan di Indonesia ?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1.      Mengetahui obesitas sebagai masalah kesehatan.
2.      Mengetahui program yang dapat diadopsi dari negara maju dalam mengatasi obesitas sebagai masalah kesehatan di Indonesia.
D.    Manfaat Penulisan
1.      Diharapkan dapat dijadikan salah satu sumber pengetahuan tentang obesitas sebagai masalah kesehatan.
2.      Diharapkan dapat dijadikan sebagai salah pemenuhan tugas kelompok mata kuliah Pembangunan Sektor.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A.    Tinjauan Pustaka
1.      Pengertian Obesitas
Obesitas merupakan masalah kesehatan yang utama. Setiap tahun orang-orang menghamburkan jutaan uangnya untuk diet ketat, obat-obatan, dan  perawatan lainnya guna menurunkan berat badan. Banyak  orang yang kurang  berhasil dalam penurunan berat badan  dan mereka yang berhasil menghilangkan sejumlah pon hampir tanpa terkecuali bertambah berat lagi. Masalah ini telah merangsang banyak riset mengenai asal mula  dan pengendalian obesitas (Pengantar psikologi, 2004;18).
Obesitas atau kegemiukan adalah ketidakseimbangan antara jumlah makanan yang masuk disbanding dengan pengeluaran energy oleh tubuh.  Obesitas juga sering didefenisikan sebagai kondisi abnormal atau kelebihan lemak yang serius dalam jaringan adipose sehingga mengganggu kesehatan (Bray, 2004; dalam  Oetomo, 2011;2). Obesitas merupakan gangguan metabolic komplek yang disebabkan banyak factor termasuk genetic dan factor lingkungan , dimana  kejadian obesitas  merupakan kombinasi dari kedua factor tersebut (James, et al,.2001; dalam Oetomo, 2011;5).
Secara patofisiologi, obesitas merupakan proses penimbungan triasigliserol berlebih pada jaringan adipose karena imbalance(ketidakseimbangan antara asupan energy dan penggunaannya, (Bays et al, 2008;dalam Oetomo 2011;3).
Obesitas adalah suatu kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, untuk pria dan wanita masing- masing melebihi 20% dan 25% dari berat tubuh dan dapat membahayakan kesehatan. Para dokter-dokter memiliki definisi tersendiri tentang obesitas, di antaranya yaitu:
a.       Suatu kondisi dimana lemak tubuh berada dalam jumlah yang berlebihan
b.       Suatu penyakit kronik yang dapat diobati
c.       Suatu penyakit epidemik (mewabah)
d.       Suatu kondisi yang berhubungan dengan penyakit-penyakit lain dan dapat menurunkan kualitas hidup
e.       Penanganan obesitas membutuhkan biaya perawatan yang sangat tinggi
2.      Tipe-Tipe pada Obesitas
Tipe pada obesitas dapat dibedakan menjadi 2 klasifikasi, yaitu Tipe obesitas berdasarkan bentuk tubuh dan Tipe obesitas berdasarkan keadaan sel lemak.
a.       Tipe Obesitas Berdasarkan Bentuk Tubuh.
1)      Obesitas tipe buah apel (Apple Shape)
Type seperti ini biasanya terdapat pada pria. dimana lemak tertumpuk di sekitar perut. Resiko kesehatan pada tipe ini lebih tinggi dibandingkan dengan tipe buah pear (Gynoid).
Biasanya terdapat pada pria. Dimana lemak tertumpik di sekitar tubuh bagian atas : Wajah, leher, dada dan pinggang. Ini terjadi pada wanita dan hampir semua pria. Lemak tubuh bagian atas biasanya disebabkan oleh pola makan yang tidak baik dan kurang berolahraga. Lemak di sekitar pinggang dapat menjadi pertanda adanya lemak internal yang bisa menimbulkan masalah kesehatan serius sehingga dengan menguranginya maka kesehatan juga dapat meningkat. Mengurangi kalori
saja tidak akan menghilangkan lemak bagian atas tubuh. Cara yang lebih efektif untuk menghilangkan kelebihan berat ini adalah dengan mengubah persentase massa tubuh dengan pengaturan kalori, protein dan berolahraga. Resiko kesehatan pada tipe ini lebih tinggi dibandingkan dengan tipe gynoid, karena sel-sel lemak di sekitar perut lebih siap melepaskan lemaknya ke dalam pembuluh darah dibandingkan dengan sel-sel lemak di tempat lain. Lemak yang masuk ke dalam pembuluh darah dapat menyebabkan penyempitan arteri (Waspadji dkk., 2003).
2)      Obesitas tipe buah pear (Gynoid)
Tipe ini cenderung dimiliki oleh wanita, lemak yang ada disimpan di sekitar pinggul dan bokong. Resiko terhadap penyakit pada tipe gynoid umumnya kecil.
Tipe ini cenderung dimiliki wanita. Resiko terhadap penyakit pada tipe ini kecil kecuali resiko terhadap penyakit arthritis dan varises vena (varicose veins). Sebagian lemak bagian bawah tubuh disebabkan faktor keturunan dan sebagian disebabkan oleh pola makan. Mengurangi asupan kalori dan meningkatkan aktivitas olah raga mungkin tidak akan cukup untuk mengurangi lemak ini. Konsumsi lebih banyak protein dan sertakan latihan pembentukan bagian bawah tubuh dalam aktifitas olah raga (Waspadji, dkk., 2003).
3)      Tipe Ovid (Bentuk Kotak Buah)
Ciri dari tipe ini adalah "besar di seluruh bagian badan". Tipe Ovid umumnya terdapat pada orang-orang yang gemuk secara genetik.
Ciri dari tipe ini adalah besar di seluruh bagian badan. Tipe ovoid umumnya terdapat pada orang-orang yang gemuk secara genetis. Saat berat badan bertambah, lemak menyebar secara proporsional ke seluruh tubuh. Sering tidak menyadari berat badan bertambah karena lemak terdistribusi ke seluruh tubuh (Waspadji, dkk., 2003).
b.      Tipe Obesitas Berdasarkan Keadaan Sel Lemak
1)      Obesitas Tipe Hyperplastik
Obesitas terjadi karena jumlah sel lemak yang lebih banyak dibandingkan keadaan normal.
2)      Obesitas Tipe Hypertropik
Obesitas terjadi karena ukuran sel lemak menjadi lebih besar dibandingkan keadaan normal,tetapi jumlah sel tidak bertambah banyak dari normal.
3)      Obesitas Tipe Hyperplastik Dan Hypertropik
Obesitas terjadi karena jumlah dan ukuran sel lemak melebihi normal. Pembentukan sel lemak baru terjadi segera setelah derajat hypertropi mencapai maksimal dengan perantaraan suatu sinyal yang dikeluarkan oleh sel lemak yang mengalami hypertropik.
c.       Tipe Obesitas Berdasarkan Umur
1)      Kegemukan saat bayi
Kegemukan pada masa bayi disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua, terutama tentang kebutuhan konsumsi makanan. Pihak orang tua harus paham benar akan waktu dan menu yang tepat untuk memberi makan terhadap bayinya. Kegemukan pada masa bayi perlu dihindari karena jumlah bayi yang menderita kegemukan pada umur enam bulan pertama ternyata lebih dari sepertiganya menjadi gemuk pada saat dewasa.
2)      Kegemukan saat anak-anak
Kegemukan pada masa anak-anak disebabkan oleh pola makan yang salah disertai aktivitas fisik yang rendah. Aktivitas fisik sangat diperlukan dalam proses pembakaran kelebihan lemak dalam tubuh.
3)      Kegemukan saat dewasa
Kegemukan sering terjadi pada masa dewasa karena lemak tubuh mulai menumpuk. Umur 30 tahun merupakan umur saat seseorang mulai mantap dengan kariernya, ditandai dengan tanggung jawab makin besar, ambisi tinggi, dan pekerjaan menumpuk. Kesibukan-kesibukan tersebut menjadi penyebab kekurangan waktu untuk olahraga. Oleh karena itu, bila kurang hati-hati dalam menjaga tubuh, perlahan-lahan kegemukan mulai mengintai. Bila dibiarkan, pada umur 45-60 tahun sering menjadi kritis akibat tubuh digerogoti penyakit seperti jantung koroner, diabetes, dan penyakit lainnya, terutama pada orang-orang yang kegemukan.
d.      Tipe Kegemukan Berdasarkan Tingkat Kegemukan
1)      Simple obesity (kegemukan ringan), merupakan kegemukan akibat kelebihan berat tubuh sebanyak 20% dari berat ideal dan tanpa disertai penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan hiperlipidemia.
2)      Mild obesity, merupakan kegemukan akibat kelebihan berat tubuh antara 20-30% dari berat ideal yang belum disertai penyakit tertentu, tetapi sudah perlu diwaspadai.
3)      Moderat obesity, merupakan kegemukan akibat kelebihan berat tubuh antara 30-60% dihitung dari berat ideal. Pada tingkat ini penderita termasuk berisiko tinggi untuk menderita penyakit yang berhubungan dengan obesitas.
4)      Morbid obesity, merupakan kegemukan akibat kelebihan berat tubuh dari berat ideal lebih dari 60% dengan risiko sangat tinggi terhadap penyakit pernapasan, gagal jantung, dan kematian mendadak.
3.      Gejala-Gejala Terjadinya Obesitas
Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya pernafasan untuk sementara waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita sering merasa ngantuk.
Obesitas bisa menyebabkan berbagai masalah ortopedik, termasuk nyeri punggung bawah dan memperburuk osteoartritis (terutama di daerah pinggul, lutut dan pergelangan kaki). Juga kadang sering ditemukan kelainan kulit. Seseorang yang menderita obesitas memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan berat badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang secara efisien dan mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema (pembengkakan akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan pergelangan kaki.
4.      Faktor Risiko Obesitas
Faktor risiko utama yang menyebabkan obesitas adalah faktor perilaku yaitu pola makan yang tidak sehat ditambah dengan konsumsi serat (buah dan sayur) tidak mecukupi, fisik yang tidak aktif, dan merokok.  
1)      Karakteristik Anak.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa anak yang berusia <10 3="" 6-12="" anak="" balita.="" bayi="" berbagai="" berusia="" dan="" dengan="" dibandingkan="" ditandai="" dulu="" emosi="" fisiknya="" gizi="" growth="" ini.="" ini="" kali="" kelompok="" kognitif="" laki-laki.="" lambat="" lebih="" masa="" masalah="" matang.="" memiliki="" mengalami="" motorik="" mulai="" obesitas="" p="" pada="" perempuan="" periode="" perkembangan="" pertumbuhan="" pesat="" puber="" remaja="" risiko="" sebesar="" sehingga="" seperti="" sering="" sosial="" spurt="" stabil="" tahun="" terjadi="" terlihat="" tetapi="" usia="" yang="">
         Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa anak laki- laki memiliki risiko mengalami obesitas sebesar 1,4 kali dibandingkan anak perempuan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh anak perempuan lebih sering membatasi makan untuk alasan penampilan. Hasil penelitian berbeda dinyatakan oleh Malik & Bakir, proporsi kelebihan berat badan pada anak perempuan (5-17 tahun) lebih tinggi dibanding laki-laki. Obesitas merupakan faktor pemungkin bagi pubertas anak perempuan.  Sedangkan pengaruhnya bagi anak laki-laki adalah peningkatan massa tubuh. Hasil analisis antara jenis kelamin dengan asupan energi dan karbohidrat menunjukkan bahwa rerata asupan energi total dan karbohidrat pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan (p<0 10-12="" akibatnya="" aktivitas="" anak="" banyak.="" besar="" dan="" dibandingkan="" energi="" fisik="" gizi="" growth="" karena="" kebutuhan="" laki-laki="" lebih="" menjadi="" p="" pengaruh="" perempuan="" spurt="" tahun="" usia="" zat="">
2)      Tingkat pendidikan
Dari studi follow-up menunjukkan bahwa tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor penyebab obesitas saat dewasa. Kejadian obesitas pada anak merupakan tanda dari tingginya status sosial, kesuburan dan kesejahteraan.10 Salah satu indikator status sosial adalah tingkat pendidikan.  
         Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa anak dengan tingkat pendidikan tidak sekolah/tidak tamat SD memiliki peluang obese sebesar 2 kali dibandingkan anak > tamat SD setelah dikontrol oleh jenis kelamin anak, riwayat obesitas ayah, kebiasaan olah raga dan  merokok anak serta asupan protein. Penelitian Haines, et al. yaitu tingkat pendidikan berhubungan dengan kejadian obese.10 Proporsi subyek yang tidak sekolah/tidak tamat SD lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan perempuan (p=0,000). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh anak laki-laki menjadi tulang punggung keluarga dalam membantu mencari nafkah orang tuanya, sehingga anak tidak lagi bisa menuntut ilmu di sekolah dasar. 
         Pendidikan khususnya tentang kesehatan merupakan upaya yang sangat penting sebagai tahap awal dalam mengubah perilaku seseorang atau masyarakat untuk menuju perilaku hidup sehat. Pendidikan kesehatan yang dilakukan pada usia dini merupakan upaya strategis dari sisi manfaat jangka pendek maupun jangka panjang.  
3)      Kebiasaan Merokok dan Olah Raga.
Data Riskesdas tahun 2007 tentang merokok dimulai sejak anak usia 10 tahun. Sebanyak 2,8% responden adalah perokok dan sebagian besar perokok adalah responden laki-laki dan tamat SD. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa anak yang tidak memiliki kebiasaan merokok mempunyai risiko mengalami obesitas sebesar 2,07 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki kebiasaan merokok. Hasil penelitian Chiolero menyatakan bahwa perokok yang merokok sejumlah 24 batang/hari akan mengalami peningkatan pengeluaran energi sebesar 215 Kkal dibandingkan dengan bukan perokok.16 Jika seseorang berhenti merokok maka berat badan dapat meningkat karena makan terasa lebih enak. Namun tetap diupayakan untuk mencegah obesitas pada perokok yang berhenti merokok. 
4)      Aktifitas Fisik
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai pergerakan tubuh khususnya otot yang membutuhkan energi dan olahraga adalah salah satu bentuk aktivitas fisik. Rekomendasi dari Physical Activity and Health menyatakan bahwa ‘aktivitas fisik sedang’ sebaiknya dilakukan sekitar 30 menit atau lebih dalam seminggu. Aktivitas fisik sedang antara lain berjalan, jogging, berenang, dan bersepeda. Aktivitas fisik yang dilakukan setiap hari bermanfaat bukan hanya untuk mendapatkan kondisi tubuh yang sehat tetapi juga bermanfaat untuk kesehatan mental, hiburan dalam mencegah stres.11 Rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor utama yang mempengaruhi obesitas. Kebiasaan olahraga dalam penelitian ini didasarkan atas aktivitas fisik anak dalam kesehariannya antara lain kebiasaan berjalan kaki dan bersepeda. Proporsi anak yang tidak rutin berolah raga sebesar 39,4%.
Penelitian yang dilakukan oleh Mustelin menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan obesitas pada anak. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa responden yang tidak rutin  berolahraga memiliki risiko obesitas sebesar 1,35 kali dibandingkan dengan responden yang rutin berolahraga. Selain itu ternyata anak yang tidak rutin berolah raga justru cenderung memiliki asupan energi yang lebih tinggi dibandingkan anak yang rutin berolah raga. Makanan dan aktivitas fisik dapat mempengaruhi timbulnya obesitas baik secara bersama maupun masing-masing.  
Hasil analisis menunjukkan  bahwa proporsi terbesar murid yang  obesitas (69.0%) terdapat pada kelompok murid yang mempunyai aktifitas ringan dibandingkan dengan kelompok murid yang mempunyai aktifitas sedang (34.4%) dan aktiftas berat (29.6%).  Ada hubungan bermakna secara statistic antara aktifitas fisik dengan obesitas.   Hasil ini sejalan dengan pendapat Arisman(6), yang menyatakan bahwa ada  kecendrungan pada orang yang  memeliki berat badan diatas berat badan ideal, mempunyai aktifitas fisik tidak  seaktif orang yang memiliki berat badan sama dengan berat badan ideal. Individu yang tidak menderita obesitas lebih banyak menggunakan waktunya untuk aktifitas diluar ruangan seperti bermain sepak bola/basket/renang.
Kurangnya aktifitas fisik merupakan salah satu faktor penting yang menyumbang kejadian obesitas.  Penelitian Sin tahun 2003 (7), di Subang Jaya pada anak SD, (mendapatkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk aktifitas ringan  seseorang adalah 83-85%, diikuti oleh  aktifitas sedang 11-13% dan aktifitas berat 3-5%.(7) Penelitian tersebut  menunjukkan waktu yang digunakan  untuk aktifitas yang tidak aktif atau  aktifitas ringan masih tinggi  persentasenya dibandingkan dengan  aktifitas sedang maupun aktifitas berat. 
Hal tersebut diduga menjadi  penyebab meningkatnya prevalensi  obesitas. Perubahan gaya hidup yang  menjurus pada penurunan aktifitas fisik  seperti kesekolah dengan naik kendaran dan kurangnya aktifitas mengikuti  kegiatan diluar rumah, menyebabkan  anak lebih senang dirumah menonton  televisi atau video dibandingkan  melakukan aktifitas fisik diluar rumah.   Hasil uji statistic menunjukkan  bahwa nilai OR 2,4 artinya kelompok murid yang mempunyai aktifitas fisik ringan atau dan sedang mempunyai kemungkinan menderita obesitas 2,4 kali  dibandingkan kelompok murid yang  mempunyai aktifitas fisik berat. Sementara itu, nilai Attributable  Fraction Effect  (AFE) adalah 0.58.  Artinya secara statistik menunjukkan  bahwa 58 % kejadian obesitas tidak  akan terjadi pada kelompok responden  dengan aktifitas fisik ringan dan atau  sedangt, apabila mereka mempunyai  aktifitas fisik berat. Nilai Attributable  Fraction Population (AFP) adalah 0,49  artinya 49 % kejadian obesitas tidak  akan terjadi pada populasi, apabila  mereka mempunyai aktifitas fisik berat.  Berdasar hasil analisis tersebut  memperlihatkan bahwa pengaruh  aktifitas fisik sangat besar terhadap kejadian obesitas. Dengan demikian  harus dilakukan upaya-upaya untuk menggalakkan budaya olah raga setiap  saat, sejak usia dini.
5)      Kebiasaan Konsumsi Sayur dan Buah
Sayur dan buah merupakan sumber serat yang penting bagi anak dalam masa pertumbuhan, khususnya berhubungan dengan obesitas. Anak overweight dan obesitas membutuhkan makanan tinggi serat seperti sayur dan buah.18 Berdasarkan PUGS (Pedoman Umum Gizi Seimbang), konsumsi sayur dan buah minimal 3 porsi/hari. Pola konsumsi sayur dan buah pada penduduk Indonesia memang masih rendah daripada jumlah yang dianjurkan.8 Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sekitar 90% anak mengkonsumsi sayur dan buah dengan ukuran <3 akan="" anak="" asupan="" badan.12="" badan.="" berat="" berbagai="" buah="" dalam="" dan="" dapat="" darah="" dengan="" densitas="" dibandingkan="" dikonsumsi="" energi="" garam="" hari.="" intervensi="" itu="" konsumsi="" laki-laki.="" langsung="" lebih="" lemak="" linier="" makanan="" mencegah="" menggantikan="" mengkonsumsi="" mengurangi="" meningkatkan="" menurunkan="" nbsp="" obesitas="" p="" peningkatan="" perempuan="" porsi="" remaja="" sayur="" secara="" sehingga="" selai="" selanjutnya="" serat="" sering="" tekanan="" termasuk="" ternyata="" tidak="" tinggi="" yang="">
6)      Asupan Energi dan Protein.
Selain sebagai sumber energi, makanan juga diperlukan untuk menggantikan sel tubuh yang rusak dan pertumbuhan. Persoalan akan muncul jika makanan yang dikonsumsi melebihi kebutuhan. Kelebihan energi tersebut akan disimpan di dalam tubuh. Jika keadaan ini terjadi terus menerus akan mengakibatkan penimbunan lemak di dalam tubuh sehingga berisiko mengalami kegemukan.   
Remaja membutuhkan sejumlah kalori untuk memenuhi kebutuhan energi sehari-hari baik untuk keperluan aktivitas maupun pertumbuhan. Peningkatan kebutuhan energi sejalan dengan bertambahnya usia. Dalam memenuhi kebutuhannya, usia remaja dianjurkan untuk mengkonsumsi variasi makanan sehat antara lain sumber protein, produk susu rendah lemak, serealia, buah dan sayuran.13 Pada prinsipnya, kebutuhan gizi anak usia 10-12 tahun adalah tinggi kalori dan protein, karena pada masa ini tubuh sedang mengalami pertumbuhan yang cukup pesat.  
Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan antara asupan energi dan protein dengan obesitas pada anak (p<0 1636="" adalah="" asupan="" baik="" besar="" cepat="" dan="" di="" disebabkan="" energi="" garam="" hari="" indonesia.="" jenis="" kapita="" kebiasaan="" kecil="" kemungkinan="" kkal.="" komposisi="" konsumsi="" kota="" lemak="" makanan="" maupun="" menjadi="" modern="" nbsp="" oleh="" p="" per="" rendah="" rerata="" saji="" sebesar="" secara="" serat.="" tinggi="" tingginya="" total="" umum="" wilayah="" yang="">
Protein berperan penting dalam pertumbuhan dan kekuatan otot. Setiap harinya, seorang remaja membutuhkan 45-60 g protein yang bersumber dari makanan seperti daging, ayam, telur, susu dan produknya, kacang, tahu dan kedelai. Rerata asupan protein per kapita per hari responden sebesar 56,7 g. Asupan tinggi protein dapat memberikan kontribusi jumlah kalori dalam sehari. Pada umumnya, anak usia 5-15 tahun cenderung masih tergantung dari makanan yang disediakan oleh orang tua di rumah, walaupun akhir-akhir ini kecenderungan anak dalam memilih makanan lebih disebabkan oleh pengaruh lingkungan di luar rumah yang dapat menggeser kebiasaan pola makan anak.
7)      Riwayat Obese Orang Tua.
Rerata indeks massa tubuh (IMT) baik ayah maupun ibu responden termasuk dalam kategori normal (23,00 kg/m2), sedangkan proporsi obesitas (IMT >25,00 kg/m2) pada ayah dan ibu masing- masing sebesar 17,5% dan 29,4%. Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa anak yang memiliki ayah ‘obese’ memiliki peluang obese sebesar 1,2 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah ‘tidak obese’. Riwayat obesitas pada orangtua berhubungan dengan genetik/hereditas anak dalam mengalami obesitas.9 Penelitian Haines et al. kelebihan berat badan pada orangtua memiliki hubungan positif dengan kelebihan berat badan anak.10 Faktor genetik berhubungan dengan pertambahan berat badan, IMT, lingkar pinggang dan aktivitas fisik. Jika ayah dan/atau ibu menderita overweight (kelebihan berat badan) maka kemungkinan anaknya memiliki kelebihan berat badan sebesar 40- 50%.9 Apabila kedua orang tua menderita ‘obese’, kemungkinan anaknya menjadi ‘obese’ sebesar 70-80%. 
8)      Tingkat pengetahuan
Jenjang pendidikan ikut mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Menurut Apriadji (1986), pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting yang dapat mempengaruhi penerimaan informasi yang baru. Pada penderita dengan pendidikan rendah pengetahuan yang  dimiliki terbatas sehingga sulit untuk menerima informasi yang diberikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin mudah untuk menerima konsep tentang hidup sehat secara mandiri, kreatif dan berkesinambungan sehingga memperkecil kemungkinan kelebihan gizi (Suhardjo, 1996). Pada umumnya faktor pendidikan dapat berperan dalam peningkatan pengetahuan seseorang. Pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung meningkatkan pengetahuan walopun pengetahuan diluar bidang pendidikanya. Hal tersebut di sebabkan seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan meningkatkan kesempatan dan kemudahan dalam menerima informasi yang baru, yang kemudian berpengaruh pada sifat yang positif (Handayani, 1994).
Pekerjaan yang merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung dapat menyebabkan obesitas, terutama pekerjaan yang tidak terlalu memerlukan aktivitas fisik yang barat. Pada pekerjaan yang menuntut aktivitas fisik yang tinggi akan lebih banyak membakar simpangan energi dalam tubuh, sehingga tidak akan terjadi obesitas sebaliknya pada pekerjaan fisik yang rendah pembakaran simpangan energi dalam tubuh tidak akan terjadi dan masukan energi yang baru akan cenderung di simpan dalam tubuh akan terjadi obesitas (Mursito, 2003).
Pengetahuan dapat menjadi pedoman yang baik untuk menjaga kesehatan tubuh dan menjaga berat tubuh yang ideal. Pentingnya upaya promotif dalam menangani obesitas dilakukan dengan cara memberikan pengetahuan mengenai citra tubuh yang positif. Kemampuan untuk menyaring informasi dari media massa juga hal penting yang harus di pahamkan kepada masyarakat agar mereka dapat memperoleh informasi yang benar dari media massa (Michael j. Gibney 2008).
Bila tingkat pengetahuan responden meningkat maka didapatkan perilaku yang baik, begitu juga sebaliknya, bila tingkat pengetahuan responden menurun maka akan didapatkan perilaku yang kurang baik pula. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2002) pengetahuan berhubungan dengan sikap dan perilaku, dalam hal ini pengetahuan obesitas yang tinggi akan menghubungkan sikap dan perilaku sehingga ibu rumah tangga akan mengontrol obesitas dengan cara aktifitas fisik, pola makan yang benar, selain itu perilaku juga didasari oleh faktor predisposisi lainya yaitu pengetahuan, kebiasaan, norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat serta faktor demografi. Faktor pendukung yang meliputi sumberdaya atau potensi masyarakat seperti lingkungan fisik dan sarana kesehatan yang tersedia serta faktor pendorong yang meliputi sikap dan perilaku orang lain. Sikap seseorang sangat mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan, meskipun demikian sikap yang sudah positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan yang nyata.
5.      Cara Pengukuran Tingkat Obesitas
a.       Pengukuran Secara Antropometrik
1)      Body Mass Index (BMI)
Body Mass Index (BMI) merupakan suatu pengukuran yang menunjukkan hubungan antara berat badan dan tinggi badan. BMI merupakan suatu rumus matematika dimana berat badan seseorang (dalam kg) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter). BMI lebih berhubungan dengan lemak tubuh dibandingkan dengan indikator lainnya untuk tinggi badan dan berat badan. Seseorang dengan BMI 25-29,9 dikatakan mengalami kelebihan berat badan (overweight), sedangkan seseorang dengan BMI 30 atau lebih dikatakan mengalami obesitas.
BMI bisa memperkirakan lemak tubuh, tetapi tidak dapat diartikan sebagai persentase yang pasti dari lemak tubuh.
Hubungan antara lemak dan BMI dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Wanita lebih mungkin memiliki persentase lemak tubuh yang lebih tinggi dibandingkan pria dengan nilai BMI yang sama. Pada BMI yang sama, orang yang lebih tua memiliki lebih banyak lemak tubuh dibandingkan orang yang lebih muda. BMI yang sehat untuk dewasa adalah 18,5-24,9.
BMI yang tinggi merupakan suatu ramalan kematian karena penyakit jantung dan pembuluh darah. Diabetes, kanker, tekanan darah tinggi dan osteoartritis juga merupakan akibat dari overweight dan obesitas yang sering ditemukan pada dewasa. Obesitas sendiri merupakan faktor resiko yang kuat dari kematian dini.
2)      RLPP (rasio lingkar pinggang dan pinggul)
Untuk menilai timbunan lemak perut dapat digunakan cara lain, yaitu dengan mengukur rasio lingkar pinggang dan pinggul (RLPP) atau mengukur lingkar pinggang (LP). Sebagai patokan, pinggang berukuran ≥ 90 cm merupakan tanda bahaya bagi pria, sedangkan untuk wanita risiko tersebut meningkat bila lingkar pinggang berukuran ≥ 80 cm. Jadi “Jangan hanya menghitung tinggi badan, berat badan dan IMT saja, lebih baik jika disertai dengan mengukur lingkar pinggang”.
RLPP adalah suatu metode sederhana yang menggunakan sebaran jaringan adiposa subkutan dan intra abdominal. Pengukuran ini difokuskan untuk suatu ukuran sekitar panggul, dengan pemikiran bahwa ukuran panggul adalah variabel yang kurang berubah. RLPP dapat diukur lebih cepat daripada tebal lemak bawah kulit (Gibson, 1993).
RLPP mempunyai nilai batasan yang ditentukan oleh penelitian epidemiologi dengan populasi luas. Angka 0,9 untuk laki-laki dan 0,8 untuk perempuan adalah yang paling sering dipakai sebagai nilai batasan untuk RLPP yang menunjukkan kenaikan risiko penyakit, tetapi untuk sejumlah penelitian angka 1,0 dan 0,9 juga digunakan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa dengan berkurangnya lemak pada beberapa orang, akan ada pengurangan juga pada lingkar pinggang dan panggul. Jadi RLPP relatif konstan. RLPP diukur dengan perbandingan antara
46 panjang lingkar pinggang (cm) dan panjang lingkar panggul (cm). Panjang
lingkar pinggang dilakukan dengan mengukur keliling perut melalui pertengahan krista iliaka dengan tulang iga terbawah secara horisontal. Panjang lingkar panggul didapatkan dengan melingkarkan meteran penjahit mengelilingi pantat, tepat pada bagian pertengahan pantat (Gibson, 1993).
3)      Indeks BROCCA
Salah satu cara lain untuk mengukur obesitas adalah dengan menggunakan indeks Brocca. Bila hasilnya : 90-110% = Berat badan normal 110-120% = Kelebihan berat badan (Overweight)
> 120% = Kegemukan (Obesitas)
b.      Pengukuran Secara Laboratorik
1)      BOD POD
2)      DEXA (dual energy X-ray absorptiometry)
3)      Bioelectric Impedance Analysis (analisa tahanan bioelektrik)
6.      Epidemiologi Obesitas
Obesitas adalah suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius di seluruh dunia karena berperan dalam meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Prevalensi obesitas berbeda-beda di setiap negara, mulai dari 7% di Perancis sampai 32,8% di Brazil.. Prevalensi obesitas meningkat di setiap negara. Sebagai contoh, di Amerika Serikat prevalensi meningkat dari 12% pada tahun 1991 menjadi 17,8% pada tahun 1998. Penelitian Himpunan Studi Obesitas Indonesia
Universitas Sumatera Utara (HISOBI) mendapatkan angka prevalensi obesitas pada wanita (11,02%) lebih besar daripada pria (9,16%). Obesitas meningkat di setiap negara, pada setiap jenis kelamin, dan pada semua kelompok usia, ras, dan tingkat pendidikan.
 B.    Kerangka Pikir

BAB III
PEMBAHASAN
A.    Obesitas sebagai Faktor Risiko
1.      Obesitas sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner
Obesitas dapat meningkatkan gangguan fungsi jantung melalui beberapa mekanisme yang kurang lebih mempengaruhi peningkatan beban kerja jantung, penimbunan lemak di jantung, penimbunan lemak disekitar pembuluh darah, memicu tekanan darah tinggi, kardiomiopati, peningkatan radikal bebas dan peradangan pembuluh darah jantung dan gangguan metabolisme lemak.
Penelitian yang dilakukan oleh Asri Insanur (2008) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara obesitas dengan penyakit jantung koroner. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Sunarti (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara obesitas dengan penyakit jantung koroner. Selai itu, penelitian deskriptif yang dilakukan oleh Danial (2010) dan juga Saiful (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar penderita penyakit jantung koroner mengalami obesitas.
Prevalensi penyakit jantung koroner menurut status IMT pada tabel.10 menunjukkan pasien dengan status IMT normal (18 – 24,9 kg/m2) terdapat 21,8 % menderita PJK , Status IMT kurus (< 18 kg/m2) terdapat 83,3 % menderita PJK, sedangkan pada obesitas (> 25 kg/m2 terdapat 35,6 % yang menderita PJK.
 Tabel 1. Prevalensi Penyakit Jantung Koroner Menurut Status IMT di Labolatorium Klinik Prodia Makassar tahun 2005.

2.      Obesitas sebagai Faktor Risiko Hipertensi
Hipertensi dan obesitas merupakan suatu keadaan yang sering dihubungkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Prevalensi kedua keadaan ini adalah cukup tinggi dan makin meningkat dari tahun ke tahun. Swedish Obese Study melaporkan angka kejadian hipertensi pada obesitas adalah sekitar 13,6 % dan Framingham study mendapatkan peningkatan insidens hipertensi, diabetes mellitus dan angina pektoris pada organ dengan obesitas dan resiko ini akan lebih tinggi lagi pada obesitas tipe sentral.
 Banyak penelitian  membuktikan adanya hubungan antara indeks massa tubuh dengan kejadian hipertensi dan diduga peningkatan berat badan memainkan peranan penting pada mekanisme timbulnya hipertensi pada orang dengan obesitas. Mekanisme terjadinya hal tersebut belum sepenuhnya dipahami, tetapi pada obesitas didapatkan adanya peningkatan volume plasma dan curah jantung yang akan meningkatkan tekanan darah. Hal ini mungkin berkaitan dengan  beberapa perubahan gaya hidup, latihan jasmani, diet dan pemakaian obat anti obesitas.
 Tabel 2. Tabel Silang antara Obesitas dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas Tlogosari Kulon Kota Semarang

Tabel 2 menunjukkan dari 80 responden diketahui 5 responden pada kategori IMT < 17 yang menderita hipertensi sebesar 1 (1,25%) dan yang tidak menderita hipertensi sebesar 4 (5%), 23 responden pada kategori IMT 17 – 18,4 diketahui yang menderita hipertensi sebesar 15 (18,75%) dan yang tidak menderita hipertensi sebesar 8 (10%), 28 responden pada kategori IMT 18,5 – 25 yang menderita hipertensi sebesar 25 (31,25%) dan yang tidak menderita hipertensi sebesar 3 (3,75%), 16 responden pada kategori IMT 25 – 27 diketahui yang menderita hipertensi sebesar 15 (18,75%) dan yang tidak menderita hipertensi sebesar 1 (1,25%), dan 8 responden pada kategori IMT > 27 yang menderita hipertensi sebesar 6 (7,5%) dan yang tidak menderita hipertensi sebesar 2 (2,5%).
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square didapatkan nilai p= 0,003; OR = 3,4; CI = 95% (1,1 – 10,6). Nilai p-value < 0,05 yaitu 0,003 yang berarti hipotesis diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara obesitas dengan kejadian hipertensi.
3.      Obesitas sebagai Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2
Prevalensi obesitas dan diabetes melitus tipe 2 meningkat dengan pesat di seluruh dunia. Sekitar 60% dari mereka yang obes menderita diabetes melitus tipe 2. Semakin besar indeks massa tubuh (IMT) semakin besar risiko menderita diabetes melitus tipe 2. Sebaliknya pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Amerika Serikat sekitar 90,0% adalah obes dan berat-badan lebih (overweight). Hasil penelitian epidemiologis di negara maju menunjukkan bahwa meningkatnya prevalensi obes sejalan dengan meningkatnya prevalensi diabetes melitus tipe 2. Wannamethee, dkk2 di Inggris memantau sebanyak 6916 pria usia menengah selama 12 tahun. Dari hasil pemantauan ditemukan bahwa resiko kejadian diabetes melitus tipe 2 meningkat secara bermakna dan progresif sejalan dengan meningkatnya indeks massa tubuh dan lamanya menderita obes atau berat-badan lebih.

  Hasil penelitian epidemiologis ini membuktikan bahwa ada kaitan erat antara obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Obesitas perlu dibedakan antara obesitas sentral atau visceral dan obesitas perifer. Dari hasil penelitian epidemiologis terbukti bahwa keterkaitan obesitas dan diabetes melitus tipe 2 lebih jelas pada mereka dengan obesitas sentral. Hasil pemeriksaan dengan CT-scan perut memperlihatkan bahwa lemak visceral sangat berperan terhadap terjadinya resistensi insulin. Walaupun lemak visceral merupakan prediktor utama terjadinya resistensi insulin, tampaknya tidak ditemukan hubungan tersebut pada mereka yang berat badannya normal.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hubungan lemak visceral dan resistensi insulin hanya terjadi pada keadaan dimana jaringan lemak visceral berlebihan seperti pada penderita obes. Artikel ini akan membahas mengenai patofisiologi terjadinya diabetes melitus tipe 2 pada obesitas dan penatalaksanaannya.
4.      Obesitas sebagai Faktor Risiko Stroke
Obesitas adalah salah satu Faktor risiko dari semua jenis stroke tetapi dalam faktor risiko utama bagistroke iskemik, jenis yang paling umum dari stroke, yang disebabkan oleh penyumbatan atau penyempitan suatu darah pembuluh di otak . Aterosklerosis, atau penyempitan pembuluh darah, yang dapat menyebabkan pembentukan gumpalan darah arteri, adalah kondisi pra-penting dari stroke banyak. Aterosklerosis dipercepat oleh tekanan darah tinggi, kolesterol merokok, tinggi dan kurang olahraga. Obesitas, terutama morbid obesitas sering dikaitkan dengan diet tinggi lemak, meningkatkan tekanan darah dan kurang olahraga. Jadi obesitas sekarang dianggap sebagai faktor risiko penting untuk stroke sekunder.
Obesitas tampaknya menjadi faktor risiko untuk stroke pada pria dan wanita. Banyak penelitian membuktikan bahwa ada hubungan antara obesitas di daerah perut dan stroke di antara manusia. Tengah usia pria dengan berat badan tidak sehat dan obesitas perut lebih mungkin untuk menderita stroke di kemudian hari dibandingkan laki-laki dengan berat badan yang sehat. Hubungan yang sama tidak bahwa tertentu ketika datang ke perempuan, meskipun banyak penelitian dilakukan namun berhasil membuktikan bahwa perempuan kelebihan berat badan hingga empat kali lebih berisiko terutama dengan meningkatnya usia. Temuan lain yang signifikan adalah bahwa obesitas pada orang muda antara usia 18 dan 65 tahun, secara drastis meningkatkan risiko stroke di kalangan orang muda.
Suatu penelitian di Denmark dilakukan untuk menganalisis data terhadap lebih dari 273.000 wanita di Denmark yang berusia rata-rata 30 tahun dan telah melahirkan antara tahun 2004 hingga tahun 2009. Tidak ada satu pun dari peserta yang memiliki riwayat stroke, penyakit jantung atau masalah ginjal.
Setelah 6 tahun masa tindak lanjut, sebanyak 68 dari peserta mengalami serangan jantung dan 175 mengalami stroke. Wanita obesitas dua kali lebih mungkin mengalami serangan jantung atau stroke dalam waktu 4-5 tahun setelah melahirkan dibandingkan dengan wanita dengan berat badan normal.
Risiko ini tetap meningkat pada wanita gemuk, bahkan setelah para peneliti memperhitungkan faktor lainnya termasuk komplikasi kehamilan atau kebiasaan merokok. Meskipun serangan jantung dan stroke sangat jarang terjadi di kalangan wanita pada kelompok usia ini, hubungan antara kelebihan berat badan dan peningkatan risiko stroke dan serangan jantung ini sangatlah jelas. Tetapi studi ini tidak membuktikan hubungan sebab-akibat antara keduanya.
Peneliti juga menemukan bahwa wanita dengan berat badan normal memiliki sedikit peningkatan risiko untuk serangan jantung dan stroke. Penelitian ini dipresentasikan dalam pertemuan tahunan American College of Cardiology di San Francisco, seperti dilansir Everyday Health.
B.     Program yang dapat Diadopsi dari Negara Maju untuk Mengatasi Obesitas sebagai Masalah Kesehatan di Indonesia
1.      Sistem Label Paket Makanan Standar
Sistem label paket makanan standar adalah suatu program yang akan diberlakukan di Inggris. Sistem ini akan mengklasifikasikan makanan dalam berbagai warna yang menjadi petunjuk tinggi, menengah dan rendah berdasarkan kandungan lemak, garam, gula dan kalorinya.
Rencana label ini selama beberapa waktu belakangan sudah menjadi pembahasan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi obesitas. Sebenarnya beberapa industri makanan sudah menerapkan sistem label dengan warna seperti lampu lalu lintas, merah, kuning, dan hijau. Namun belum ada standar yang baku sehingga satu perusahaan menaruh warna kuning namun yang lainnya menggunakan merah karena ukuran kandungan lemak, gula, dan garam.
Dengan label pada makanan tersebut, maka akan ada berbagai warna yang menjadi petunjuk tinggi, menengah, dan rendah berdasarkan kandungan lemak, garam, gula dan kalorinya. Namun skema itu masih bersifat sukarela walau pemerintah yakin industri makanan Inggris akan melakukannya.
Rencana label ini selama beberapa waktu belakangan sudah menjadi pembahasan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi obesitas. Sebenarnya beberapa industri makanan sudah menerapkan sistem label dengan warna seperti lampu lalu lintas, merah, kuning, dan hijau. Namun belum ada standar yang baku sehingga satu perusahaan menaruh warna kuning namun yang lainnya menggunakan merah karena ukuran kandungan lemak, gula, dan garam.
Kelak akan ada standar yang tegas mengenai warna lampu lalu lintas yang bisa dipastikan batas ambang dan bawah dari masing-masing kandungan dalam makanan tersebut. Ibaratnya label halal di Indonesia, yang dikeluarkan MUI, sudah ada standarnya dan berlaku untuk semua produk makanan.
Memang label kesehatan di Inggris belum sampai memaksa orang untuk hanya mengkonsumsi yang tergolong hijau yaitu makanan dan minuman dengan kandungan lemak, garam, dan gula yang relatif sedikit. Namun tujuannya lebih memberikan informasi selengkap mungkin sehingga orang mengambil keputusan dengan pertimbangan yang matang. Cuma di ujungnya adalah harapan agar orang tidak sampai menjadi obes karena terlalu banyak mengkonsumsi lemak, garam dan gula.
Asumsi dasarnya adalah sebenarnya banyak orang yang tidak ingin mengkonsumsi garam, gula, dan lemak secara berlebihan walaupun tentu banyak juga yang tidak peduli selama enak di mulut dan kenyang di perut.
Dengan informasi lengkap maka orang per orang bisa mengambil keputusan yang tepat, walau pada saat bersamaan pemerintah Inggris melancarkan kampanye antiobesitas, dengan berbagai cara dan ada yang sedikit di bawah tekanan.
Misalnya saja untuk IVF atau pembuahan tabung, maka perempuan yang tergolong obes lebih dulu diminta menurunkan berat badannya sebelum mendapat pelayanan. Selain itu pemerintah juga memperbaiki mutu makanan di sekolah-sekolah, walau ada juga yang kemudian memilih membawa makanan sendiri dari rumah daripada menyantap makanan yang menurut mereka hambar.
Beban ekonomi setiap tahun layanan kesehatan Inggris, NHS, diperkirakan menghabiskan £2 miliar untuk menangani penyakit-penyakit yang berhubungan dengan obesitas. Jika instruksi sistem label dilaksanakan dan mengurangi tingkat obesitas, maka sejumlah dana bisa dihemat.
Pemerintah Indonesia bisa saja mengadopsi program label paket makanan standar untuk mengatasi obesitas di Indonesia. Dengan penerapan label makanan tersebut diharapkan masyarakat bisa mengambil keputusan yang tepat untuk memilih makanan yang sehat dalam artian rendah lemak dan garam demi kesehatan tubuhnya. Kekurangan program ini adalah sifatnya yang bersifat sukarela dan tidak memaksa masyarakat untuk mematuhi tujuan dari program tersebut. Terlebih lagi tingkat kesadaran masyarakat Indonesia tentang kesehatan belum menyeluruh. Sebagian besar hanya orang berpendidikanlah yang mengerti tentang manfaat program ini.
2.      Pajak Lemak
 Pemerintah Denmark memperkenalkan “pajak lemak” sebagai upaya  untuk melangsingkan negara yang tengah memerangi obesitas dan penyakit jantung. Denmark adalah negara pertama yang di dunia yang telah berhasil mengimplementasikan permberlakuan pajak untuk lemak.
Pemerintah Denmark menetapkan pajak yang harus dibayar masyarakat apabila mereka ingin membeli makanan berlemak. Semakin berlemak makanan, akan semakin mahal tambahan biaya pajaknya. Pemerintah Denmark sengaja memberlakukan kebijakan ini untuk membatasi konsumsi makanan berlemak pada warganya, yang notabene disana memang mirip-mirip seperti di Amerika, kasus obesitas ada dimana-mana. Pajak yang diterapkan ini membuat harga-harga makanan atau bahan makanan yang mengandung lemak meningkat pesat, misalnya harga mentega naik 50 sen euro, keripik kentang naik 12 sen, dan daging sapi naik 20 sen.
Menurut Dr Jorgen Dejgard Jensen dari Universitas Kopenhagen dengan diterapkannya pajak ini, dapat menilai dalam setahun atau dua tahun ke depan apakah hal (pajak) ini mengubah pola konsumsi masyarakat. Sebelumnya Denmark sudah menarik pajak tinggi sebesar 66 sen per kilogram untuk gula, salah satu bahan utama pembuatan pastri kayu manis khas negara itu. Selain gula, es krim juga kena pajak 15 sen per liter.
Selain Denmark, Jerman dan Rusia pun tidak mau ketinggalan. Negara ini juga sudah menerapkan kebijakan yang cukup ketat dalam menghadapi masalah obesitas di negaranya. Cuma dalam hal ini, agaknya tindakan Rusia terlalu ekstrim, karena Rusia akan memecat para polisinya yang mengalami kegemukan demi profesionalitasnya.
Diharapkan Indonesia mampu mengadopsi program pajak lemak ini. Program ini bertujuan untuk membatasi masyarakat mengkonsumsi lemak secara berlebihan. Selain untuk mengatasi obesitas di Indonesia, program ini pun dapat meningkatkan pengahasilan Negara dan diharapkan meningkatkan anggaran negara untuk kesehatan.
3.      Pencegahan Peningkatan Obesitas
Setelah dianggap sebagai masalah hanya di negara-negara berpenghasilan tinggi, kelebihan berat badan dan obesitas sekarang secara dramatis meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti Indonesia. Pemerintah Indonesia terfokus pada berbagai program kesehatan yang bersifat kuratif dan terkesan sedikit melupakan pentingnya upaya promotif dan preventif. Hal tersebut terbukti dengan belum adanya program khusus di Indonesia guna mengatasi obesitas sebagai maslaah kesehatan. Padahal obesitas merupakan factor risiko dari beberapa penyakit degenerative.
Pemerintah Indonesia perlu segera menyusun sebuah langkah komprehensif dan menempatkan prioritas dalam mengatasi problematika obesitas (kegemukan) yang telah menjadi ancaman baru dunia kesehatan masyarakat secara global. Indonesia bisa saja mengadopsi program Pemerintah Amerika yang membatasi jenis makanan yang dijual di sekolah sebagai upaya memerangi obesitas pada anak. Pemerintah Amerika akan mengeluarkan regulasi yang mengatur jenis makanan yang dijual di sekolah, langkah yang oleh para ahli gizi dikatakan dapat berperan penting dalam mengatasi obesitas pada anak.
Lewat aturan yang diusulkan oleh Departemen Pertanian tersebut, semua makanan tidak sehat (junk food) yang biasanya ditemukan di sekolah seperti keripik berlemak, kue, keju, cokelat dan permen akan dilarang disediakan di kantin sekolah dan mesin makanan. Sebagai penggantinya akan disediakan makanan sehat seperti keripik kentang, biji-bijian, soda diet, minuman berolahraga rendah kalori dan hamburger rendah lemak.
Departemen Pertanian akan membatasi kandungan lemak, kalori, gula dan garam dalam hampir semua makanan yang dijual di sekolah. Standar-standar yang ada saat ini telah mengatur kandungan gizi makanan untuk sarapan dan makan siang di sekolah yang disubsidi oleh pemerintah federal, namun sebagian besar kantin masih menyediakan pilihan makanan lain. Makanan yang dijual lewat mesin makanan dan di luar kantin tidak pernah diatur sebelumnya. Sebagian besar kudapan di sekolah harus memiliki kandungan kurang dari 200 kalori. Sekolah dasar dan sekolah menengah pertama hanya boleh menjual air, susu rendah lemak atau jus 100 persen sayuran atau buah.
Sekolah menengah atas boleh menjual minuman olahraga, soda diet dan es teh, namun kalorinya akan dibatasi. Minuman akan dibatasi dengan porsi 12-ons untuk sekolah menengah pertama dan 8-ons untuk sekolah dasar.
BAB IV
PENUTUP
A.    Simpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1.      Obesitas sebagai masalah kesehatan memiliki hubungan atau dengan kata lain merupakan faktor risiko dari penyakit penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus tipe dua dan stroke.
2.      Program dari negara maju yang dapat diadopsi Indonesia dalam mengatasi obesitas sebagai masalah kesehatan yaitu sistem label paket makanan sekunder, pajak lemak dan mengatur jenis makanan di sekolah.
B.     Saran
Berdasarkan simpulan, direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Untuk masyarakat, diharapkan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan dan menerapkan pola hidup sehat untuk mencegah obesitas.
2.      Untuk pemerintah, diharpkan agar mengambil langkah serius untuk menanggulangi atau minimal mengurangi prevalensi penderita obesitas di Indonesia dengan mengadaptasikan berbagai program penanggulangan obesitas di negara maju.
DAFTAR PUSTAKA
Aryana. Dkk. 2011. Korelasi antara Obesitas Sentral dengan Adiponektin pada Lansia dengan Penyakit Jantung Koroner. [13 Maret 2010]
Baido, Darman Rasyid. 2011. Hubungan Antara Obesitas dan Diabetes Melitus Tipe 2. http://dokternetworkangk97.blogspot.com/2011/02/kaitan-antara-obesitas-dan-diabetes.html. [13 Maret 2010]
Hariadi. Arsad Rahum Ali. 2005. Hubungan Obesitas dengan Beberapa Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner di Labolatorium Klinik Prodia Makassar Tahun 2005. [13 Maret 2010]
Kapojos. E.J. Jurnal Kardiologi. http://www.jantunghipertensi.com/hipertensi/65.html. [13 Maret 2010]
Maman. 2011. Pajak Lemak Untuk Perangi Obesitas di Denmark. http://www.langitberita.com/wtf/23250/wtf-pajak-lemak-untuk-perangi-obesitas-di-denmark/. [13 Maret 2010]
Mayasari, Linda. 2013. Ibu Obesitas Lebih Berisiko Serangan Jantung dan Stroke. http://health.detik.com/read/2013/03/13/075755/2192336/763/ibu-obesitas-lebih-berisiko-serangan-jantung-stroke?880004755. [13 Maret 2010]
Metro TV News. 2013. Perangi Obesitas, Pemerintah AS Atur Jajanan di Sekolah. http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/09/7/129860/Perangi-Obesitas-Pemerintah-AS-Atur-Jajanan-di-Sekolah-. [13 Maret 2010]
Mustamin. 2010. Asupan Energi dan Aktivitas dengan Kejadian Obesitas Sentral pada Ibu Rumah Tangga di Kelurahan Ujung Pandang Baru Kecamatan Tallo Kota Makassar. Jurnal Asupan Energi, Aktivitas Fisik, Obesitas Sentral. [13 Maret 2010]
Nakadya. Lemak Kena Pajak.  http://lapar.com/di-negara-ini-lemak-kena-pajak-lho/#.UUrpIBdTBGg. [13 Maret 2010]
PRmob. 2012. Obesitas dan Stroke. http://id.prmob.net/kegemukan/faktor-risiko/pukulan-481011.html. [13 Maret 2010]
Pusat Data Informasi Pers. 2012. Risiko Penyakit Degeneratif Mengintai Penderita Obesitas. http://www.pdpersi.co.id/content/news.php?mid=5&catid=23&nid=815. [12 Maret 2010]
Siregar, Liston P. 2012. Label Kesehatan di Inggris. http://www.bbc.co.uk/blogs/indonesia/london/2012/10/. [13 Maret 2010]
Syahrini, Erlyna Nur. Dkk. 2012. Faktor-faktor Risiko Hipertensi Primer di Puskesmas Tlogosari Kulon Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. [13 Maret 2010]
Voice of America. 2013. Perangi Obesitas, Pemerintah AS Atur Makanan di Sedolah. http://www.voaindonesia.com/content/perangi-obesitas-pemerintah-as-atur-makanan-di-sekolah/1596537.html. [13 Maret 2010]
World Health organization. http://www.who.int/topics/obesity/en/. [12 Maret 2010]
Yanha. 2010. Makalah Obesitas. http://yanhaluciyan.blogspot.com/2010/01/bab-i-pendahuluan-1.html. [12 Maret 2010]

No comments:

Post a Comment