BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gemuk merupakan suatu kebanggaan dan
merupakan kriteria untuk mengukur kesuburan dan kemakmuran suatu kehidupan,
sehingga pada saat itu banyak orang berusaha menjadi gemuk dan mempertahankanya
sesuai dengan status sosialnya, dalam perkembangan selanjutnya justru
sebaliknya kegemukan atau obesitas selalu berhubungan dengan kesakitan dan
peningkatan kematian (Hermawan, A Guntur, 2010).
Kegemukan dan obesitas menurut WHO didefinisikan sebagai
akumulasi lemak abnormal atau berlebihan yang menyajikan risiko bagi kesehatan.
Sebuah ukuran populasi mentah obesitas adalah indeks massa tubuh (BMI), berat
badan seseorang (dalam kg) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan nya (dalam
meter). Seseorang dengan BMI 30 atau lebih umumnya dianggap obesitas. Seseorang
dengan BMI sama dengan atau lebih dari 25 dianggap kelebihan berat badan.
Menurut World Health Organization (WHO), obesitas
merupakan salah satu daripada 10 kondisi yang berisiko di seluruh dunia dan
salah satu daripada 5 kondisi yang berisiko di negara-negara berkembang.
Prevalensi obesitas di seluruh dunia baik di negara berkembang maupun negara
yang sedang berkembang telah meningkat dalam jumlah yang mengkhawatirkan (Aneja
A. et al., 2004: Flier J.S and Flier E.M, 2008).
Menurut data Badan
Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2011, tingkat obesitas di dunia telah meningkat
lebih dari dua kali lipat sejak 1980. Bahkan, hampir 43 juta anak-anak balita
mengalami kelebihan berat badan (overweight) pada 2010.
Berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2010, angka overweight dan
obesitas pada penduduk usia di atas 18 tahun tercatat sebanyak 27,1%.
prevalensi obesitas pun lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding dengan
pedesaan, dan lebih tinggi pada kelompok masyarakat bependidikan lebih tinggi
serta bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/Pegawai. Sedang berdasarkan jenis kelamin,
prevalensi obesitas pada perempuan lebih tinggi (26,9%) dibanding laki-laki
(16,3%). semakin tinggi tingkat pengeluran rumah tangga per kapita pun
mempunyai kecenderungan semakin tinggi prevalensi obesitasnya.
Prevalensi
Obesitas Sentral pada penduduk umur 15 tahun ke atas menurut karakteristik
subjek provinsi Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa, prevalensi obesitas
sentral pada laki-laki 8,3 %, pada perempuan 26,8% dan prevalensi obesitas
sentral tertinggi berdasarkan karakteristik pekerjaan pada ibu rumah tangga
sebesar 33,4% (Riskesdas 2007). Prevalensi obesitas sentral untuk Sulawesi
Selatan tahun 2007 adalah 18,3% sedikit lebih rendah dari angka nasional
(18,8%). Dari 23 kabupaten/kota, Kota Makassar dan Kota Pare-Pare dengan
prevalensi masingmasing 23,8% dan 23,9%. Dari 23 kabupaten/kota, 10 di
antaranya memiliki prevalensi obesitas sentral di atas angka prevalensi
provinsi (Riskesdas,2007).
Kegemukan dan
obesitas merupakan faktor risiko utama untuk sejumlah penyakit kronis. Setelah
dianggap sebagai masalah hanya di negara-negara berpenghasilan tinggi,
kelebihan berat badan dan obesitas sekarang secara dramatis meningkat di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, khususnya di daerah
perkotaan. Untuk itu pada kesempatan kali ini penulis
akan menguraikan tentang obesitas sebagai masalah kesehatan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
pokok permasalahannya adalah :
1. Bagaimana
obesitas sebagai masalah kesehatan ?
2. Program apa saja
yang dapat diadopsi dari negara maju untuk mengatasi obesitas sebagai masalah
kesehatan di Indonesia ?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan
makalah ini yaitu :
1. Mengetahui obesitas
sebagai masalah kesehatan.
2. Mengetahui program
yang dapat diadopsi dari negara maju dalam mengatasi obesitas sebagai masalah
kesehatan di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
1. Diharapkan dapat
dijadikan salah satu sumber pengetahuan tentang obesitas sebagai masalah
kesehatan.
2.
Diharapkan
dapat dijadikan sebagai salah pemenuhan tugas kelompok mata kuliah Pembangunan
Sektor.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN
KERANGKA PIKIR
A.
Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Obesitas
Obesitas
merupakan masalah kesehatan yang utama. Setiap tahun orang-orang menghamburkan
jutaan uangnya untuk diet ketat, obat-obatan, dan perawatan lainnya guna menurunkan berat
badan. Banyak orang yang kurang berhasil dalam penurunan berat badan dan mereka yang berhasil menghilangkan
sejumlah pon hampir tanpa terkecuali bertambah berat lagi. Masalah ini telah
merangsang banyak riset mengenai asal mula
dan pengendalian obesitas (Pengantar psikologi, 2004;18).
Obesitas
atau kegemiukan adalah ketidakseimbangan antara jumlah makanan yang masuk
disbanding dengan pengeluaran energy oleh tubuh. Obesitas juga sering didefenisikan sebagai
kondisi abnormal atau kelebihan lemak yang serius dalam jaringan adipose
sehingga mengganggu kesehatan (Bray, 2004; dalam Oetomo, 2011;2). Obesitas merupakan gangguan
metabolic komplek yang disebabkan banyak factor termasuk genetic dan factor
lingkungan , dimana kejadian
obesitas merupakan kombinasi dari kedua
factor tersebut (James, et al,.2001; dalam Oetomo, 2011;5).
Secara
patofisiologi, obesitas merupakan proses penimbungan triasigliserol berlebih
pada jaringan adipose karena imbalance(ketidakseimbangan antara asupan energy
dan penggunaannya, (Bays et al, 2008;dalam Oetomo 2011;3).
Obesitas adalah suatu kondisi kelebihan berat tubuh
akibat tertimbunnya lemak, untuk pria dan wanita masing- masing melebihi 20%
dan 25% dari berat tubuh dan dapat membahayakan kesehatan. Para dokter-dokter
memiliki definisi tersendiri tentang obesitas, di antaranya yaitu:
a.
Suatu
kondisi dimana lemak tubuh berada dalam jumlah yang berlebihan
b.
Suatu
penyakit kronik yang dapat diobati
c.
Suatu
penyakit epidemik (mewabah)
d.
Suatu
kondisi yang berhubungan dengan penyakit-penyakit lain dan dapat menurunkan
kualitas hidup
e.
Penanganan
obesitas membutuhkan biaya perawatan yang sangat tinggi
2. Tipe-Tipe pada Obesitas
Tipe
pada obesitas dapat dibedakan menjadi 2 klasifikasi, yaitu Tipe obesitas
berdasarkan bentuk tubuh dan Tipe obesitas berdasarkan keadaan sel lemak.
a. Tipe Obesitas Berdasarkan Bentuk Tubuh.
1)
Obesitas tipe buah apel
(Apple Shape)
Type seperti ini biasanya terdapat pada
pria. dimana lemak tertumpuk di sekitar perut. Resiko kesehatan pada tipe ini
lebih tinggi dibandingkan dengan tipe buah pear (Gynoid).
Biasanya terdapat pada pria.
Dimana lemak tertumpik di sekitar tubuh bagian atas : Wajah, leher, dada dan
pinggang. Ini terjadi pada wanita dan hampir semua pria. Lemak tubuh bagian
atas biasanya disebabkan oleh pola makan yang tidak baik dan kurang
berolahraga. Lemak di sekitar pinggang dapat menjadi pertanda adanya lemak
internal yang bisa menimbulkan masalah kesehatan serius sehingga dengan
menguranginya maka kesehatan juga dapat meningkat. Mengurangi kalori
saja tidak akan menghilangkan
lemak bagian atas tubuh. Cara yang lebih efektif untuk menghilangkan kelebihan
berat ini adalah dengan mengubah persentase massa tubuh dengan pengaturan
kalori, protein dan berolahraga. Resiko kesehatan pada tipe ini lebih tinggi
dibandingkan dengan tipe gynoid, karena sel-sel lemak di sekitar perut lebih
siap melepaskan lemaknya ke dalam pembuluh darah dibandingkan dengan sel-sel
lemak di tempat lain. Lemak yang masuk ke dalam pembuluh darah dapat
menyebabkan penyempitan arteri (Waspadji dkk., 2003).
2)
Obesitas tipe buah pear
(Gynoid)
Tipe ini cenderung dimiliki oleh wanita,
lemak yang ada disimpan di sekitar pinggul dan bokong. Resiko terhadap penyakit
pada tipe gynoid umumnya kecil.
Tipe ini cenderung dimiliki
wanita. Resiko terhadap penyakit pada tipe ini kecil kecuali resiko terhadap
penyakit arthritis dan varises vena (varicose veins). Sebagian lemak
bagian bawah tubuh disebabkan faktor keturunan dan sebagian disebabkan oleh
pola makan. Mengurangi asupan kalori dan meningkatkan aktivitas olah raga
mungkin tidak akan cukup untuk mengurangi lemak ini. Konsumsi lebih banyak
protein dan sertakan latihan pembentukan bagian bawah tubuh dalam aktifitas
olah raga (Waspadji, dkk., 2003).
3)
Tipe Ovid (Bentuk Kotak
Buah)
Ciri dari tipe ini adalah "besar di
seluruh bagian badan". Tipe Ovid umumnya terdapat pada orang-orang yang
gemuk secara genetik.
Ciri dari tipe ini adalah besar
di seluruh bagian badan. Tipe ovoid umumnya terdapat pada orang-orang yang
gemuk secara genetis. Saat berat badan bertambah, lemak menyebar secara
proporsional ke seluruh tubuh. Sering tidak menyadari berat badan bertambah
karena lemak terdistribusi ke seluruh tubuh (Waspadji, dkk., 2003).
b. Tipe Obesitas Berdasarkan Keadaan Sel Lemak
1)
Obesitas Tipe Hyperplastik
Obesitas terjadi karena jumlah sel lemak
yang lebih banyak dibandingkan keadaan normal.
2)
Obesitas Tipe Hypertropik
Obesitas terjadi karena ukuran sel lemak
menjadi lebih besar dibandingkan keadaan normal,tetapi jumlah sel tidak bertambah
banyak dari normal.
3)
Obesitas Tipe Hyperplastik
Dan Hypertropik
Obesitas terjadi karena jumlah dan ukuran
sel lemak melebihi normal. Pembentukan sel lemak baru terjadi segera setelah
derajat hypertropi mencapai maksimal dengan perantaraan suatu sinyal yang
dikeluarkan oleh sel lemak yang mengalami hypertropik.
c.
Tipe Obesitas Berdasarkan Umur
1)
Kegemukan saat bayi
Kegemukan pada masa bayi disebabkan kurangnya
pengetahuan orang tua, terutama tentang kebutuhan konsumsi makanan. Pihak orang
tua harus paham benar akan waktu dan menu yang tepat untuk memberi makan
terhadap bayinya. Kegemukan pada masa bayi perlu dihindari karena jumlah bayi
yang menderita kegemukan pada umur enam bulan pertama ternyata lebih dari
sepertiganya menjadi gemuk pada saat dewasa.
2)
Kegemukan saat anak-anak
Kegemukan pada masa anak-anak disebabkan
oleh pola makan yang salah disertai aktivitas fisik yang rendah. Aktivitas
fisik sangat diperlukan dalam proses pembakaran kelebihan lemak dalam tubuh.
3)
Kegemukan saat dewasa
Kegemukan sering terjadi pada masa dewasa
karena lemak tubuh mulai menumpuk. Umur 30 tahun merupakan umur saat seseorang
mulai mantap dengan kariernya, ditandai dengan tanggung jawab makin besar,
ambisi tinggi, dan pekerjaan menumpuk. Kesibukan-kesibukan tersebut menjadi
penyebab kekurangan waktu untuk olahraga. Oleh karena itu, bila kurang
hati-hati dalam menjaga tubuh, perlahan-lahan kegemukan mulai mengintai. Bila
dibiarkan, pada umur 45-60 tahun sering menjadi kritis akibat tubuh digerogoti
penyakit seperti jantung koroner, diabetes, dan penyakit lainnya, terutama pada
orang-orang yang kegemukan.
d.
Tipe Kegemukan Berdasarkan Tingkat Kegemukan
1)
Simple obesity (kegemukan ringan), merupakan kegemukan
akibat kelebihan berat tubuh sebanyak 20% dari berat ideal dan tanpa disertai
penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan hiperlipidemia.
2)
Mild obesity, merupakan kegemukan akibat kelebihan
berat tubuh antara 20-30% dari berat ideal yang belum disertai penyakit
tertentu, tetapi sudah perlu diwaspadai.
3)
Moderat obesity, merupakan kegemukan akibat kelebihan berat
tubuh antara 30-60% dihitung dari berat ideal. Pada tingkat ini penderita
termasuk berisiko tinggi untuk menderita penyakit yang berhubungan dengan
obesitas.
4)
Morbid obesity, merupakan kegemukan akibat kelebihan
berat tubuh dari berat ideal lebih dari 60% dengan risiko sangat tinggi
terhadap penyakit pernapasan, gagal jantung, dan kematian mendadak.
3. Gejala-Gejala Terjadinya Obesitas
Penimbunan
lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan
paru-paru, sehingga timbul gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun
penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa
terjadi pada saat tidur dan menyebabkan terhentinya pernafasan untuk sementara
waktu (tidur apneu), sehingga pada siang hari penderita sering merasa ngantuk.
Obesitas
bisa menyebabkan berbagai masalah ortopedik, termasuk nyeri punggung bawah dan
memperburuk osteoartritis (terutama di daerah pinggul, lutut dan pergelangan
kaki). Juga kadang sering ditemukan kelainan kulit. Seseorang yang menderita
obesitas memiliki permukaan tubuh yang relatif lebih sempit dibandingkan dengan
berat badannya, sehingga panas tubuh tidak dapat dibuang secara efisien dan
mengeluarkan keringat yang lebih banyak. Sering ditemukan edema (pembengkakan
akibat penimbunan sejumlah cairan) di daerah tungkai dan pergelangan kaki.
4. Faktor Risiko Obesitas
Faktor
risiko utama yang menyebabkan obesitas adalah faktor perilaku yaitu pola makan
yang tidak sehat ditambah dengan konsumsi serat (buah dan sayur) tidak
mecukupi, fisik yang tidak aktif, dan merokok.
1)
Karakteristik Anak.
Hasil analisis bivariat
menunjukkan bahwa anak yang berusia <10 3="" 6-12="" anak="" balita.="" bayi="" berbagai="" berusia="" dan="" dengan="" dibandingkan="" ditandai="" dulu="" emosi="" fisiknya="" gizi="" growth="" ini.="" ini="" kali="" kelompok="" kognitif="" laki-laki.="" lambat="" lebih="" masa="" masalah="" matang.="" memiliki="" mengalami="" motorik="" mulai="" obesitas="" p="" pada="" perempuan="" periode="" perkembangan="" pertumbuhan="" pesat="" puber="" remaja="" risiko="" sebesar="" sehingga="" seperti="" sering="" sosial="" spurt="" stabil="" tahun="" terjadi="" terlihat="" tetapi="" usia="" yang="">
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa anak laki- laki
memiliki risiko mengalami obesitas sebesar 1,4 kali dibandingkan anak perempuan.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh anak perempuan lebih sering membatasi makan
untuk alasan penampilan. Hasil penelitian berbeda dinyatakan oleh Malik &
Bakir, proporsi kelebihan berat badan pada anak perempuan (5-17 tahun) lebih
tinggi dibanding laki-laki. Obesitas merupakan faktor pemungkin bagi pubertas
anak perempuan. Sedangkan pengaruhnya
bagi anak laki-laki adalah peningkatan massa tubuh. Hasil analisis antara jenis
kelamin dengan asupan energi dan karbohidrat menunjukkan bahwa rerata asupan
energi total dan karbohidrat pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan
(p<0 10-12="" akibatnya="" aktivitas="" anak="" banyak.="" besar="" dan="" dibandingkan="" energi="" fisik="" gizi="" growth="" karena="" kebutuhan="" laki-laki="" lebih="" menjadi="" p="" pengaruh="" perempuan="" spurt="" tahun="" usia="" zat="">
10>
2)
Tingkat pendidikan
Dari studi follow-up
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor penyebab
obesitas saat dewasa. Kejadian obesitas pada anak merupakan tanda dari
tingginya status sosial, kesuburan dan kesejahteraan.10 Salah satu indikator
status sosial adalah tingkat pendidikan.
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa anak dengan
tingkat pendidikan tidak sekolah/tidak tamat SD memiliki peluang obese sebesar
2 kali dibandingkan anak > tamat SD setelah dikontrol oleh jenis kelamin
anak, riwayat obesitas ayah, kebiasaan olah raga dan merokok anak serta asupan protein. Penelitian
Haines, et al. yaitu tingkat pendidikan berhubungan dengan kejadian obese.10
Proporsi subyek yang tidak sekolah/tidak tamat SD lebih banyak pada anak
laki-laki dibandingkan perempuan (p=0,000). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh
anak laki-laki menjadi tulang punggung keluarga dalam membantu mencari nafkah
orang tuanya, sehingga anak tidak lagi bisa menuntut ilmu di sekolah
dasar.
Pendidikan khususnya tentang kesehatan merupakan upaya yang
sangat penting sebagai tahap awal dalam mengubah perilaku seseorang atau
masyarakat untuk menuju perilaku hidup sehat. Pendidikan kesehatan yang
dilakukan pada usia dini merupakan upaya strategis dari sisi manfaat jangka
pendek maupun jangka panjang.
3)
Kebiasaan Merokok dan Olah Raga.
Data Riskesdas tahun 2007
tentang merokok dimulai sejak anak usia 10 tahun. Sebanyak 2,8% responden
adalah perokok dan sebagian besar perokok adalah responden laki-laki dan tamat
SD. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa anak yang tidak memiliki
kebiasaan merokok mempunyai risiko mengalami obesitas sebesar 2,07 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki kebiasaan merokok. Hasil
penelitian Chiolero menyatakan bahwa perokok yang merokok sejumlah 24
batang/hari akan mengalami peningkatan pengeluaran energi sebesar 215 Kkal
dibandingkan dengan bukan perokok.16 Jika seseorang berhenti merokok maka berat
badan dapat meningkat karena makan terasa lebih enak. Namun tetap diupayakan
untuk mencegah obesitas pada perokok yang berhenti merokok.
4)
Aktifitas Fisik
Aktivitas fisik
didefinisikan sebagai pergerakan tubuh khususnya otot yang membutuhkan energi
dan olahraga adalah salah satu bentuk aktivitas fisik. Rekomendasi dari
Physical Activity and Health menyatakan bahwa ‘aktivitas fisik sedang’
sebaiknya dilakukan sekitar 30 menit atau lebih dalam seminggu. Aktivitas fisik
sedang antara lain berjalan, jogging, berenang, dan bersepeda. Aktivitas fisik
yang dilakukan setiap hari bermanfaat bukan hanya untuk mendapatkan kondisi
tubuh yang sehat tetapi juga bermanfaat untuk kesehatan mental, hiburan dalam
mencegah stres.11 Rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor utama yang
mempengaruhi obesitas. Kebiasaan olahraga dalam penelitian ini didasarkan atas
aktivitas fisik anak dalam kesehariannya antara lain kebiasaan berjalan kaki
dan bersepeda. Proporsi anak yang tidak rutin berolah raga sebesar 39,4%.
Penelitian yang dilakukan
oleh Mustelin menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara aktivitas
fisik dengan obesitas pada anak. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa
responden yang tidak rutin berolahraga
memiliki risiko obesitas sebesar 1,35 kali dibandingkan dengan responden yang
rutin berolahraga. Selain itu ternyata anak yang tidak rutin berolah raga
justru cenderung memiliki asupan energi yang lebih tinggi dibandingkan anak
yang rutin berolah raga. Makanan dan aktivitas fisik dapat mempengaruhi
timbulnya obesitas baik secara bersama maupun masing-masing.
Hasil analisis
menunjukkan bahwa proporsi terbesar
murid yang obesitas (69.0%) terdapat
pada kelompok murid yang mempunyai aktifitas ringan dibandingkan dengan
kelompok murid yang mempunyai aktifitas sedang (34.4%) dan aktiftas berat
(29.6%). Ada hubungan bermakna secara
statistic antara aktifitas fisik dengan obesitas. Hasil ini sejalan dengan pendapat
Arisman(6), yang menyatakan bahwa ada
kecendrungan pada orang yang
memeliki berat badan diatas berat badan ideal, mempunyai aktifitas fisik
tidak seaktif orang yang memiliki berat
badan sama dengan berat badan ideal. Individu yang tidak menderita obesitas
lebih banyak menggunakan waktunya untuk aktifitas diluar ruangan seperti
bermain sepak bola/basket/renang.
Kurangnya aktifitas fisik
merupakan salah satu faktor penting yang menyumbang kejadian obesitas. Penelitian Sin tahun 2003 (7), di Subang Jaya
pada anak SD, (mendapatkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk aktifitas
ringan seseorang adalah 83-85%, diikuti
oleh aktifitas sedang 11-13% dan
aktifitas berat 3-5%.(7) Penelitian tersebut
menunjukkan waktu yang digunakan
untuk aktifitas yang tidak aktif atau
aktifitas ringan masih tinggi
persentasenya dibandingkan dengan
aktifitas sedang maupun aktifitas berat.
Hal tersebut diduga
menjadi penyebab meningkatnya
prevalensi obesitas. Perubahan gaya
hidup yang menjurus pada penurunan
aktifitas fisik seperti kesekolah dengan
naik kendaran dan kurangnya aktifitas mengikuti
kegiatan diluar rumah, menyebabkan
anak lebih senang dirumah menonton
televisi atau video dibandingkan
melakukan aktifitas fisik diluar rumah.
Hasil uji statistic menunjukkan
bahwa nilai OR 2,4 artinya kelompok murid yang mempunyai aktifitas fisik
ringan atau dan sedang mempunyai kemungkinan menderita obesitas 2,4 kali dibandingkan kelompok murid yang mempunyai aktifitas fisik berat. Sementara
itu, nilai Attributable Fraction
Effect (AFE) adalah 0.58. Artinya secara statistik menunjukkan bahwa 58 % kejadian obesitas tidak akan terjadi pada kelompok responden dengan aktifitas fisik ringan dan atau sedangt, apabila mereka mempunyai aktifitas fisik berat. Nilai Attributable Fraction Population (AFP) adalah 0,49 artinya 49 % kejadian obesitas tidak akan terjadi pada populasi, apabila mereka mempunyai aktifitas fisik berat. Berdasar hasil analisis tersebut memperlihatkan bahwa pengaruh aktifitas fisik sangat besar terhadap
kejadian obesitas. Dengan demikian harus
dilakukan upaya-upaya untuk menggalakkan budaya olah raga setiap saat, sejak usia dini.
5)
Kebiasaan Konsumsi Sayur dan Buah
Sayur dan buah merupakan
sumber serat yang penting bagi anak dalam masa pertumbuhan, khususnya
berhubungan dengan obesitas. Anak overweight dan obesitas membutuhkan makanan
tinggi serat seperti sayur dan buah.18 Berdasarkan PUGS (Pedoman Umum Gizi
Seimbang), konsumsi sayur dan buah minimal 3 porsi/hari. Pola konsumsi sayur
dan buah pada penduduk Indonesia memang masih rendah daripada jumlah yang
dianjurkan.8 Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sekitar 90% anak
mengkonsumsi sayur dan buah dengan ukuran <3 akan="" anak="" asupan="" badan.12="" badan.="" berat="" berbagai="" buah="" dalam="" dan="" dapat="" darah="" dengan="" densitas="" dibandingkan="" dikonsumsi="" energi="" garam="" hari.="" intervensi="" itu="" konsumsi="" laki-laki.="" langsung="" lebih="" lemak="" linier="" makanan="" mencegah="" menggantikan="" mengkonsumsi="" mengurangi="" meningkatkan="" menurunkan="" nbsp="" obesitas="" p="" peningkatan="" perempuan="" porsi="" remaja="" sayur="" secara="" sehingga="" selai="" selanjutnya="" serat="" sering="" tekanan="" termasuk="" ternyata="" tidak="" tinggi="" yang="">
0>
6)
Asupan Energi dan Protein.
Selain sebagai sumber
energi, makanan juga diperlukan untuk menggantikan sel tubuh yang rusak dan
pertumbuhan. Persoalan akan muncul jika makanan yang dikonsumsi melebihi
kebutuhan. Kelebihan energi tersebut akan disimpan di dalam tubuh. Jika keadaan
ini terjadi terus menerus akan mengakibatkan penimbunan lemak di dalam tubuh
sehingga berisiko mengalami kegemukan.
Remaja membutuhkan
sejumlah kalori untuk memenuhi kebutuhan energi sehari-hari baik untuk
keperluan aktivitas maupun pertumbuhan. Peningkatan kebutuhan energi sejalan dengan
bertambahnya usia. Dalam memenuhi kebutuhannya, usia remaja dianjurkan untuk
mengkonsumsi variasi makanan sehat antara lain sumber protein, produk susu
rendah lemak, serealia, buah dan sayuran.13 Pada prinsipnya, kebutuhan gizi
anak usia 10-12 tahun adalah tinggi kalori dan protein, karena pada masa ini
tubuh sedang mengalami pertumbuhan yang cukup pesat.
Hasil analisis
bivariat menunjukkan adanya hubungan antara asupan energi dan protein dengan
obesitas pada anak (p<0 1636="" adalah="" asupan="" baik="" besar="" cepat="" dan="" di="" disebabkan="" energi="" garam="" hari="" indonesia.="" jenis="" kapita="" kebiasaan="" kecil="" kemungkinan="" kkal.="" komposisi="" konsumsi="" kota="" lemak="" makanan="" maupun="" menjadi="" modern="" nbsp="" oleh="" p="" per="" rendah="" rerata="" saji="" sebesar="" secara="" serat.="" tinggi="" tingginya="" total="" umum="" wilayah="" yang="">
B. Kerangka Pikir
Tabel 1. Prevalensi Penyakit
Jantung Koroner Menurut Status IMT di Labolatorium Klinik Prodia Makassar tahun
2005.
Tabel 2. Tabel
Silang antara Obesitas dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas Tlogosari Kulon
Kota Semarang
3>
Protein berperan
penting dalam pertumbuhan dan kekuatan otot. Setiap harinya, seorang remaja
membutuhkan 45-60 g protein yang bersumber dari makanan seperti daging, ayam,
telur, susu dan produknya, kacang, tahu dan kedelai. Rerata asupan protein per
kapita per hari responden sebesar 56,7 g. Asupan tinggi protein dapat
memberikan kontribusi jumlah kalori dalam sehari. Pada umumnya, anak usia 5-15
tahun cenderung masih tergantung dari makanan yang disediakan oleh orang tua di
rumah, walaupun akhir-akhir ini kecenderungan anak dalam memilih makanan lebih
disebabkan oleh pengaruh lingkungan di luar rumah yang dapat menggeser
kebiasaan pola makan anak.
7)
Riwayat Obese Orang Tua.
Rerata indeks massa tubuh
(IMT) baik ayah maupun ibu responden termasuk dalam kategori normal (23,00
kg/m2), sedangkan proporsi obesitas (IMT >25,00 kg/m2) pada ayah dan ibu
masing- masing sebesar 17,5% dan 29,4%. Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa
anak yang memiliki ayah ‘obese’ memiliki peluang obese sebesar 1,2 kali
dibandingkan dengan anak yang memiliki ayah ‘tidak obese’. Riwayat obesitas
pada orangtua berhubungan dengan genetik/hereditas anak dalam mengalami
obesitas.9 Penelitian Haines et al. kelebihan berat badan pada orangtua
memiliki hubungan positif dengan kelebihan berat badan anak.10 Faktor genetik
berhubungan dengan pertambahan berat badan, IMT, lingkar pinggang dan aktivitas
fisik. Jika ayah dan/atau ibu menderita overweight (kelebihan berat badan) maka
kemungkinan anaknya memiliki kelebihan berat badan sebesar 40- 50%.9 Apabila
kedua orang tua menderita ‘obese’, kemungkinan anaknya menjadi ‘obese’ sebesar
70-80%.
8)
Tingkat pengetahuan
Jenjang pendidikan ikut
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Menurut Apriadji (1986), pendidikan
merupakan salah satu unsur terpenting yang dapat mempengaruhi penerimaan
informasi yang baru. Pada penderita dengan pendidikan rendah pengetahuan
yang dimiliki terbatas sehingga sulit
untuk menerima informasi yang diberikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka
semakin mudah untuk menerima konsep tentang hidup sehat secara mandiri, kreatif
dan berkesinambungan sehingga memperkecil kemungkinan kelebihan gizi (Suhardjo,
1996). Pada umumnya faktor pendidikan dapat berperan dalam peningkatan
pengetahuan seseorang. Pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung meningkatkan
pengetahuan walopun pengetahuan diluar bidang pendidikanya. Hal tersebut di
sebabkan seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan meningkatkan kesempatan
dan kemudahan dalam menerima informasi yang baru, yang kemudian berpengaruh
pada sifat yang positif (Handayani, 1994).
Pekerjaan yang merupakan
salah satu faktor yang secara tidak langsung dapat menyebabkan obesitas,
terutama pekerjaan yang tidak terlalu memerlukan aktivitas fisik yang barat.
Pada pekerjaan yang menuntut aktivitas fisik yang tinggi akan lebih banyak
membakar simpangan energi dalam tubuh, sehingga tidak akan terjadi obesitas
sebaliknya pada pekerjaan fisik yang rendah pembakaran simpangan energi dalam
tubuh tidak akan terjadi dan masukan energi yang baru akan cenderung di simpan
dalam tubuh akan terjadi obesitas (Mursito, 2003).
Pengetahuan dapat menjadi
pedoman yang baik untuk menjaga kesehatan tubuh dan menjaga berat tubuh yang
ideal. Pentingnya upaya promotif dalam menangani obesitas dilakukan dengan cara
memberikan pengetahuan mengenai citra tubuh yang positif. Kemampuan untuk
menyaring informasi dari media massa juga hal penting yang harus di pahamkan
kepada masyarakat agar mereka dapat memperoleh informasi yang benar dari media
massa (Michael j. Gibney 2008).
Bila tingkat pengetahuan
responden meningkat maka didapatkan perilaku yang baik, begitu juga sebaliknya,
bila tingkat pengetahuan responden menurun maka akan didapatkan perilaku yang
kurang baik pula. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2002) pengetahuan
berhubungan dengan sikap dan perilaku, dalam hal ini pengetahuan obesitas yang
tinggi akan menghubungkan sikap dan perilaku sehingga ibu rumah tangga akan
mengontrol obesitas dengan cara aktifitas fisik, pola makan yang benar, selain
itu perilaku juga didasari oleh faktor predisposisi lainya yaitu pengetahuan,
kebiasaan, norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat serta faktor
demografi. Faktor pendukung yang meliputi sumberdaya atau potensi masyarakat
seperti lingkungan fisik dan sarana kesehatan yang tersedia serta faktor
pendorong yang meliputi sikap dan perilaku orang lain. Sikap seseorang sangat
mempengaruhi tindakan yang akan dilakukan, meskipun demikian sikap yang sudah positif
terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan yang
nyata.
5. Cara Pengukuran Tingkat Obesitas
a. Pengukuran Secara Antropometrik
1)
Body Mass Index (BMI)
Body Mass Index (BMI)
merupakan suatu pengukuran yang menunjukkan hubungan antara berat badan dan
tinggi badan. BMI merupakan suatu rumus matematika dimana berat badan seseorang
(dalam kg) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter). BMI lebih berhubungan
dengan lemak tubuh dibandingkan dengan indikator lainnya untuk tinggi badan dan
berat badan. Seseorang dengan BMI 25-29,9 dikatakan mengalami kelebihan berat
badan (overweight), sedangkan seseorang dengan BMI 30 atau lebih dikatakan
mengalami obesitas.
BMI bisa memperkirakan
lemak tubuh, tetapi tidak dapat diartikan sebagai persentase yang pasti dari
lemak tubuh.
Hubungan antara lemak dan BMI dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Wanita lebih mungkin memiliki persentase lemak tubuh yang lebih tinggi dibandingkan pria dengan nilai BMI yang sama. Pada BMI yang sama, orang yang lebih tua memiliki lebih banyak lemak tubuh dibandingkan orang yang lebih muda. BMI yang sehat untuk dewasa adalah 18,5-24,9.
Hubungan antara lemak dan BMI dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Wanita lebih mungkin memiliki persentase lemak tubuh yang lebih tinggi dibandingkan pria dengan nilai BMI yang sama. Pada BMI yang sama, orang yang lebih tua memiliki lebih banyak lemak tubuh dibandingkan orang yang lebih muda. BMI yang sehat untuk dewasa adalah 18,5-24,9.
BMI yang tinggi
merupakan suatu ramalan kematian karena penyakit jantung dan pembuluh darah.
Diabetes, kanker, tekanan darah tinggi dan osteoartritis juga merupakan akibat
dari overweight dan obesitas yang sering ditemukan pada dewasa. Obesitas
sendiri merupakan faktor resiko yang kuat dari kematian dini.
2)
RLPP
(rasio lingkar pinggang dan pinggul)
Untuk menilai timbunan lemak perut dapat digunakan
cara lain, yaitu dengan mengukur rasio lingkar pinggang dan pinggul (RLPP) atau
mengukur lingkar pinggang (LP). Sebagai patokan, pinggang berukuran ≥ 90 cm
merupakan tanda bahaya bagi pria, sedangkan untuk wanita risiko tersebut
meningkat bila lingkar pinggang berukuran ≥ 80 cm. Jadi “Jangan hanya
menghitung tinggi badan, berat badan dan IMT saja, lebih baik jika disertai
dengan mengukur lingkar pinggang”.
RLPP adalah suatu metode
sederhana yang menggunakan sebaran jaringan adiposa subkutan dan intra
abdominal. Pengukuran ini difokuskan untuk suatu ukuran sekitar panggul, dengan
pemikiran bahwa ukuran panggul adalah variabel yang kurang berubah. RLPP dapat
diukur lebih cepat daripada tebal lemak bawah kulit (Gibson, 1993).
RLPP mempunyai nilai batasan
yang ditentukan oleh penelitian epidemiologi dengan populasi luas. Angka 0,9
untuk laki-laki dan 0,8 untuk perempuan adalah yang paling sering dipakai
sebagai nilai batasan untuk RLPP yang menunjukkan kenaikan risiko penyakit,
tetapi untuk sejumlah penelitian angka 1,0 dan 0,9 juga digunakan. Beberapa
penelitian juga menunjukkan bahwa dengan berkurangnya lemak pada beberapa
orang, akan ada pengurangan juga pada lingkar pinggang dan panggul. Jadi RLPP
relatif konstan. RLPP diukur dengan perbandingan antara
46 panjang lingkar pinggang
(cm) dan panjang lingkar panggul (cm). Panjang
lingkar pinggang dilakukan
dengan mengukur keliling perut melalui pertengahan krista iliaka dengan tulang
iga terbawah secara horisontal. Panjang lingkar panggul didapatkan dengan
melingkarkan meteran penjahit mengelilingi pantat, tepat pada bagian
pertengahan pantat (Gibson, 1993).
3)
Indeks
BROCCA
Salah satu cara lain untuk mengukur
obesitas adalah dengan menggunakan indeks Brocca. Bila hasilnya : 90-110% =
Berat badan normal 110-120% = Kelebihan berat badan (Overweight)
> 120% = Kegemukan (Obesitas)
> 120% = Kegemukan (Obesitas)
b. Pengukuran Secara Laboratorik
1)
BOD POD
2)
DEXA (dual energy X-ray
absorptiometry)
3)
Bioelectric Impedance
Analysis (analisa tahanan bioelektrik)
6. Epidemiologi Obesitas
Obesitas
adalah suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius di seluruh dunia
karena berperan dalam meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Prevalensi
obesitas berbeda-beda di setiap negara, mulai dari 7% di Perancis sampai 32,8%
di Brazil.. Prevalensi obesitas meningkat di setiap negara. Sebagai contoh, di
Amerika Serikat prevalensi meningkat dari 12% pada tahun 1991 menjadi 17,8%
pada tahun 1998. Penelitian Himpunan Studi Obesitas Indonesia
Universitas Sumatera Utara (HISOBI) mendapatkan
angka prevalensi obesitas pada wanita (11,02%) lebih besar daripada pria
(9,16%). Obesitas meningkat di setiap negara, pada setiap jenis kelamin, dan
pada semua kelompok usia, ras, dan tingkat pendidikan.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Obesitas sebagai Faktor Risiko
1. Obesitas sebagai Faktor Risiko Penyakit Jantung
Koroner
Obesitas dapat meningkatkan gangguan fungsi jantung
melalui beberapa mekanisme yang kurang lebih mempengaruhi peningkatan beban
kerja jantung, penimbunan lemak di jantung, penimbunan lemak disekitar pembuluh
darah, memicu tekanan darah tinggi, kardiomiopati, peningkatan radikal bebas
dan peradangan pembuluh darah jantung dan gangguan metabolisme lemak.
Penelitian yang dilakukan oleh Asri Insanur (2008)
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara obesitas dengan
penyakit jantung koroner. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Sunarti (2009)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara obesitas dengan penyakit jantung
koroner. Selai itu, penelitian deskriptif yang dilakukan oleh Danial (2010) dan
juga Saiful (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar penderita penyakit jantung
koroner mengalami obesitas.
Prevalensi penyakit jantung
koroner menurut status IMT pada tabel.10 menunjukkan pasien dengan status IMT
normal (18 – 24,9 kg/m2) terdapat 21,8 % menderita PJK , Status IMT kurus (<
18 kg/m2) terdapat 83,3 % menderita PJK, sedangkan pada obesitas (> 25 kg/m2
terdapat 35,6 % yang menderita PJK.
2. Obesitas sebagai Faktor Risiko Hipertensi
Hipertensi dan
obesitas merupakan suatu keadaan yang sering dihubungkan dengan peningkatan
risiko penyakit kardiovaskular. Prevalensi kedua keadaan ini adalah cukup tinggi
dan makin meningkat dari tahun ke tahun. Swedish Obese Study melaporkan angka kejadian hipertensi
pada obesitas adalah sekitar 13,6 % dan Framingham study mendapatkan
peningkatan insidens hipertensi, diabetes mellitus dan angina pektoris pada
organ dengan obesitas dan resiko ini akan lebih tinggi lagi pada obesitas tipe
sentral.
Banyak
penelitian membuktikan adanya hubungan antara indeks massa tubuh dengan
kejadian hipertensi dan diduga
peningkatan
berat badan memainkan peranan penting pada mekanisme timbulnya hipertensi pada
orang dengan obesitas. Mekanisme terjadinya hal tersebut belum sepenuhnya
dipahami, tetapi pada obesitas didapatkan adanya peningkatan volume plasma dan
curah jantung
yang akan meningkatkan tekanan darah. Hal ini mungkin berkaitan dengan
beberapa perubahan gaya hidup, latihan jasmani, diet dan pemakaian obat anti
obesitas.
Tabel 2 menunjukkan dari 80 responden diketahui 5 responden
pada kategori IMT < 17 yang menderita hipertensi sebesar 1 (1,25%) dan yang
tidak menderita hipertensi sebesar 4 (5%), 23 responden pada kategori IMT 17 –
18,4 diketahui yang menderita hipertensi sebesar 15 (18,75%) dan yang tidak
menderita hipertensi sebesar 8 (10%), 28 responden pada kategori IMT 18,5 – 25
yang menderita hipertensi sebesar 25 (31,25%) dan yang tidak menderita
hipertensi sebesar 3 (3,75%), 16 responden pada kategori IMT 25 – 27 diketahui
yang menderita hipertensi sebesar 15 (18,75%) dan yang tidak menderita
hipertensi sebesar 1 (1,25%), dan 8 responden pada kategori IMT > 27 yang
menderita hipertensi sebesar 6 (7,5%) dan yang tidak menderita hipertensi
sebesar 2 (2,5%).
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square didapatkan
nilai p= 0,003; OR = 3,4; CI = 95% (1,1 – 10,6). Nilai p-value < 0,05
yaitu 0,003 yang berarti hipotesis diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara obesitas dengan kejadian hipertensi.
3. Obesitas sebagai Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2
Prevalensi
obesitas dan diabetes melitus tipe 2 meningkat dengan pesat di seluruh dunia.
Sekitar 60% dari mereka yang obes menderita diabetes melitus tipe 2. Semakin
besar indeks massa tubuh (IMT) semakin besar risiko menderita diabetes melitus
tipe 2. Sebaliknya pada penderita diabetes melitus tipe 2 di Amerika Serikat
sekitar 90,0% adalah obes dan berat-badan lebih (overweight). Hasil penelitian
epidemiologis di negara maju menunjukkan bahwa meningkatnya prevalensi obes
sejalan dengan meningkatnya prevalensi diabetes melitus tipe 2. Wannamethee,
dkk2 di Inggris memantau sebanyak 6916 pria usia menengah selama 12 tahun. Dari
hasil pemantauan ditemukan bahwa resiko kejadian diabetes melitus tipe 2
meningkat secara bermakna dan progresif sejalan dengan meningkatnya indeks
massa tubuh dan lamanya menderita obes atau berat-badan lebih.
Hasil
penelitian epidemiologis ini membuktikan bahwa ada kaitan erat antara obesitas
dan diabetes melitus tipe 2. Obesitas perlu dibedakan antara obesitas sentral
atau visceral dan obesitas perifer. Dari hasil penelitian epidemiologis
terbukti bahwa keterkaitan obesitas dan diabetes melitus tipe 2 lebih jelas
pada mereka dengan obesitas sentral. Hasil pemeriksaan dengan CT-scan perut
memperlihatkan bahwa lemak visceral sangat berperan terhadap terjadinya
resistensi insulin. Walaupun lemak visceral merupakan prediktor utama
terjadinya resistensi insulin, tampaknya tidak ditemukan hubungan tersebut pada
mereka yang berat badannya normal.
Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa hubungan lemak visceral dan resistensi insulin
hanya terjadi pada keadaan dimana jaringan lemak visceral berlebihan seperti
pada penderita obes. Artikel ini akan membahas mengenai patofisiologi
terjadinya diabetes melitus tipe 2 pada obesitas dan penatalaksanaannya.
4. Obesitas sebagai Faktor Risiko Stroke
Obesitas adalah salah satu Faktor risiko dari semua jenis
stroke tetapi dalam faktor risiko utama bagistroke iskemik, jenis yang paling umum dari stroke, yang disebabkan oleh penyumbatan
atau penyempitan suatu darah pembuluh di otak .
Aterosklerosis, atau penyempitan pembuluh darah, yang dapat menyebabkan pembentukan gumpalan darah arteri,
adalah kondisi pra-penting dari stroke banyak. Aterosklerosis dipercepat oleh
tekanan darah tinggi, kolesterol merokok, tinggi dan kurang olahraga. Obesitas, terutama morbid
obesitas sering dikaitkan dengan diet tinggi lemak, meningkatkan tekanan
darah dan kurang olahraga. Jadi obesitas sekarang dianggap sebagai faktor
risiko penting untuk stroke sekunder.
Obesitas tampaknya menjadi faktor
risiko untuk stroke pada pria dan wanita. Banyak penelitian membuktikan bahwa
ada hubungan antara obesitas di daerah perut dan stroke di antara manusia.
Tengah usia pria dengan berat badan tidak sehat dan obesitas perut lebih
mungkin untuk menderita stroke di kemudian hari dibandingkan laki-laki dengan
berat badan yang sehat. Hubungan yang sama tidak bahwa tertentu ketika datang
ke perempuan, meskipun banyak penelitian dilakukan namun berhasil membuktikan
bahwa perempuan kelebihan berat badan hingga empat kali lebih berisiko terutama
dengan meningkatnya usia. Temuan lain yang signifikan adalah bahwa obesitas
pada orang muda antara usia 18 dan 65 tahun, secara drastis meningkatkan risiko
stroke di kalangan orang muda.
Suatu penelitian di
Denmark dilakukan untuk menganalisis data terhadap lebih dari 273.000 wanita di
Denmark yang berusia rata-rata 30 tahun dan telah melahirkan antara tahun 2004
hingga tahun 2009. Tidak ada satu pun dari peserta yang memiliki riwayat
stroke, penyakit jantung atau masalah ginjal.
Setelah 6 tahun
masa tindak lanjut, sebanyak 68 dari peserta mengalami serangan jantung dan 175
mengalami stroke. Wanita obesitas dua kali lebih mungkin mengalami serangan
jantung atau stroke dalam waktu 4-5 tahun setelah melahirkan dibandingkan
dengan wanita dengan berat badan normal.
Risiko ini tetap
meningkat pada wanita gemuk, bahkan setelah para peneliti memperhitungkan
faktor lainnya termasuk komplikasi kehamilan atau kebiasaan merokok. Meskipun
serangan jantung dan stroke sangat jarang terjadi di kalangan wanita pada
kelompok usia ini, hubungan antara kelebihan berat badan dan peningkatan risiko
stroke dan serangan jantung ini sangatlah jelas. Tetapi studi ini tidak
membuktikan hubungan sebab-akibat antara keduanya.
Peneliti juga
menemukan bahwa wanita dengan berat badan normal memiliki sedikit peningkatan
risiko untuk serangan jantung dan stroke. Penelitian ini dipresentasikan dalam
pertemuan tahunan American College of Cardiology di San Francisco, seperti
dilansir Everyday Health.
B.
Program yang dapat Diadopsi dari Negara Maju untuk Mengatasi Obesitas
sebagai Masalah Kesehatan di Indonesia
1. Sistem Label Paket Makanan Standar
Sistem label paket
makanan standar adalah suatu program yang akan diberlakukan di Inggris. Sistem
ini akan mengklasifikasikan makanan dalam berbagai warna yang menjadi petunjuk
tinggi, menengah dan rendah berdasarkan kandungan lemak, garam, gula dan
kalorinya.
Rencana label ini
selama beberapa waktu belakangan sudah menjadi pembahasan sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi obesitas. Sebenarnya beberapa industri makanan sudah
menerapkan sistem label dengan warna seperti lampu lalu lintas, merah, kuning,
dan hijau. Namun belum ada standar yang baku sehingga satu perusahaan menaruh
warna kuning namun yang lainnya menggunakan merah karena ukuran kandungan
lemak, gula, dan garam.
Dengan label pada makanan tersebut,
maka akan ada berbagai warna yang menjadi petunjuk tinggi, menengah, dan rendah
berdasarkan kandungan lemak, garam, gula dan kalorinya. Namun skema itu masih
bersifat sukarela walau pemerintah yakin industri makanan Inggris akan
melakukannya.
Rencana label ini selama beberapa
waktu belakangan sudah menjadi pembahasan sebagai salah satu upaya untuk
mengatasi obesitas. Sebenarnya beberapa industri makanan sudah menerapkan
sistem label dengan warna seperti lampu lalu lintas, merah, kuning, dan hijau.
Namun belum ada standar yang baku sehingga satu perusahaan menaruh warna kuning
namun yang lainnya menggunakan merah karena ukuran kandungan lemak, gula, dan
garam.
Kelak akan ada standar yang tegas
mengenai warna lampu lalu lintas yang bisa dipastikan batas ambang dan bawah
dari masing-masing kandungan dalam makanan tersebut. Ibaratnya label halal di
Indonesia, yang dikeluarkan MUI, sudah ada standarnya dan berlaku untuk semua
produk makanan.
Memang label kesehatan di Inggris
belum sampai memaksa orang untuk hanya mengkonsumsi yang tergolong hijau yaitu
makanan dan minuman dengan kandungan lemak, garam, dan gula yang relatif
sedikit. Namun tujuannya lebih memberikan informasi selengkap mungkin sehingga
orang mengambil keputusan dengan pertimbangan yang matang. Cuma di ujungnya
adalah harapan agar orang tidak sampai menjadi obes karena terlalu banyak
mengkonsumsi lemak, garam dan gula.
Asumsi dasarnya adalah sebenarnya
banyak orang yang tidak ingin mengkonsumsi garam, gula, dan lemak secara
berlebihan walaupun tentu banyak juga yang tidak peduli selama enak di mulut
dan kenyang di perut.
Dengan informasi lengkap maka orang
per orang bisa mengambil keputusan yang tepat, walau pada saat bersamaan
pemerintah Inggris melancarkan kampanye antiobesitas, dengan berbagai cara dan
ada yang sedikit di bawah tekanan.
Misalnya saja untuk IVF atau pembuahan
tabung, maka perempuan yang tergolong obes lebih dulu diminta menurunkan berat
badannya sebelum mendapat pelayanan. Selain itu pemerintah juga memperbaiki
mutu makanan di sekolah-sekolah, walau ada juga yang kemudian memilih membawa
makanan sendiri dari rumah daripada menyantap makanan yang menurut mereka
hambar.
Beban ekonomi setiap tahun layanan
kesehatan Inggris, NHS, diperkirakan menghabiskan £2 miliar untuk menangani
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan obesitas. Jika instruksi sistem label
dilaksanakan dan mengurangi tingkat obesitas, maka sejumlah dana bisa dihemat.
Pemerintah Indonesia
bisa saja mengadopsi program label paket makanan standar untuk mengatasi
obesitas di Indonesia. Dengan penerapan label makanan tersebut diharapkan
masyarakat bisa mengambil
keputusan yang tepat untuk memilih makanan yang sehat dalam artian rendah lemak
dan garam demi kesehatan tubuhnya. Kekurangan
program ini adalah sifatnya yang bersifat sukarela dan tidak memaksa masyarakat
untuk mematuhi tujuan dari program tersebut. Terlebih lagi tingkat kesadaran
masyarakat Indonesia tentang kesehatan belum menyeluruh. Sebagian besar hanya
orang berpendidikanlah yang mengerti tentang manfaat program ini.
2.
Pajak
Lemak
Pemerintah Denmark memperkenalkan “pajak lemak” sebagai
upaya untuk melangsingkan negara yang tengah memerangi obesitas dan
penyakit jantung. Denmark adalah negara pertama yang di dunia yang telah
berhasil mengimplementasikan permberlakuan pajak untuk lemak.
Pemerintah Denmark
menetapkan pajak yang harus dibayar masyarakat apabila mereka ingin membeli
makanan berlemak. Semakin berlemak makanan, akan semakin mahal tambahan biaya
pajaknya. Pemerintah Denmark sengaja memberlakukan kebijakan ini untuk
membatasi konsumsi makanan berlemak pada warganya, yang notabene disana memang
mirip-mirip seperti di Amerika, kasus obesitas ada dimana-mana. Pajak yang diterapkan ini membuat
harga-harga makanan atau bahan makanan yang mengandung lemak meningkat pesat,
misalnya harga mentega naik 50 sen euro, keripik kentang naik 12 sen, dan
daging sapi naik 20 sen.
Menurut
Dr Jorgen Dejgard Jensen dari Universitas Kopenhagen dengan diterapkannya pajak
ini, dapat menilai dalam setahun atau dua tahun ke depan apakah hal (pajak) ini
mengubah pola konsumsi masyarakat. Sebelumnya Denmark sudah menarik pajak
tinggi sebesar 66 sen per kilogram untuk gula, salah satu bahan utama pembuatan
pastri kayu manis khas negara itu. Selain gula, es krim juga kena pajak 15 sen
per liter.
Selain Denmark, Jerman dan Rusia pun tidak mau ketinggalan.
Negara ini juga sudah menerapkan kebijakan yang cukup ketat dalam menghadapi
masalah obesitas di negaranya. Cuma dalam hal ini, agaknya tindakan Rusia
terlalu ekstrim, karena Rusia akan memecat para polisinya yang mengalami
kegemukan demi profesionalitasnya.
Diharapkan Indonesia mampu mengadopsi program pajak lemak ini.
Program ini bertujuan untuk membatasi masyarakat mengkonsumsi lemak secara
berlebihan. Selain untuk mengatasi obesitas di Indonesia, program ini pun dapat
meningkatkan pengahasilan Negara dan diharapkan meningkatkan anggaran negara
untuk kesehatan.
3.
Pencegahan Peningkatan Obesitas
Setelah dianggap sebagai masalah hanya
di negara-negara berpenghasilan tinggi, kelebihan berat badan dan obesitas
sekarang secara dramatis meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah seperti Indonesia. Pemerintah Indonesia
terfokus pada berbagai program kesehatan yang bersifat kuratif dan terkesan
sedikit melupakan pentingnya upaya promotif dan preventif. Hal tersebut
terbukti dengan belum adanya program khusus di Indonesia guna mengatasi
obesitas sebagai maslaah kesehatan. Padahal obesitas merupakan factor risiko
dari beberapa penyakit degenerative.
Pemerintah
Indonesia perlu segera menyusun sebuah langkah komprehensif dan menempatkan
prioritas dalam mengatasi problematika obesitas (kegemukan) yang telah menjadi
ancaman baru dunia kesehatan masyarakat secara global. Indonesia bisa saja
mengadopsi program Pemerintah Amerika yang membatasi jenis makanan yang dijual
di sekolah sebagai upaya memerangi obesitas pada anak. Pemerintah Amerika akan
mengeluarkan regulasi yang mengatur jenis makanan yang dijual di sekolah,
langkah yang oleh para ahli gizi dikatakan dapat berperan penting dalam
mengatasi obesitas pada anak.
Lewat
aturan yang diusulkan oleh Departemen Pertanian tersebut, semua makanan tidak
sehat (junk food) yang biasanya ditemukan di sekolah seperti keripik berlemak,
kue, keju, cokelat dan permen akan dilarang disediakan di kantin sekolah dan
mesin makanan. Sebagai penggantinya akan disediakan makanan sehat seperti keripik
kentang, biji-bijian, soda diet, minuman berolahraga rendah kalori dan
hamburger rendah lemak.
Departemen
Pertanian akan membatasi kandungan lemak, kalori, gula dan garam dalam hampir
semua makanan yang dijual di sekolah. Standar-standar yang ada saat ini telah
mengatur kandungan gizi makanan untuk sarapan dan makan siang di sekolah yang
disubsidi oleh pemerintah federal, namun sebagian besar kantin masih
menyediakan pilihan makanan lain. Makanan yang dijual lewat mesin makanan dan
di luar kantin tidak pernah diatur sebelumnya. Sebagian besar kudapan di
sekolah harus memiliki kandungan kurang dari 200 kalori. Sekolah dasar dan
sekolah menengah pertama hanya boleh menjual air, susu rendah lemak atau jus
100 persen sayuran atau buah.
Sekolah
menengah atas boleh menjual minuman olahraga, soda diet dan es teh, namun
kalorinya akan dibatasi. Minuman akan dibatasi dengan porsi 12-ons untuk
sekolah menengah pertama dan 8-ons untuk sekolah dasar.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat ditarik
simpulan sebagai berikut:
1. Obesitas
sebagai masalah kesehatan memiliki hubungan atau dengan kata lain merupakan
faktor risiko dari penyakit penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes
melitus tipe dua dan stroke.
2. Program dari negara
maju yang dapat diadopsi Indonesia dalam mengatasi obesitas sebagai masalah
kesehatan yaitu sistem label paket makanan sekunder, pajak lemak dan mengatur jenis
makanan di sekolah.
B. Saran
Berdasarkan
simpulan, direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Untuk masyarakat, diharapkan meningkatkan
kesadaran tentang pentingnya kesehatan dan menerapkan pola hidup sehat untuk
mencegah obesitas.
2.
Untuk pemerintah, diharpkan agar mengambil
langkah serius untuk menanggulangi atau minimal mengurangi prevalensi penderita
obesitas di Indonesia dengan mengadaptasikan berbagai program penanggulangan
obesitas di negara maju.
DAFTAR PUSTAKA
Aryana.
Dkk. 2011. Korelasi antara Obesitas Sentral dengan Adiponektin pada Lansia
dengan Penyakit Jantung Koroner. [13 Maret 2010]
Baido,
Darman Rasyid. 2011. Hubungan Antara Obesitas dan Diabetes Melitus Tipe 2. http://dokternetworkangk97.blogspot.com/2011/02/kaitan-antara-obesitas-dan-diabetes.html.
[13 Maret 2010]
Hariadi.
Arsad Rahum Ali. 2005. Hubungan Obesitas dengan Beberapa Faktor Risiko Penyakit
Jantung Koroner di Labolatorium Klinik Prodia Makassar Tahun 2005. [13 Maret
2010]
Kapojos.
E.J. Jurnal Kardiologi. http://www.jantunghipertensi.com/hipertensi/65.html.
[13 Maret 2010]
Maman.
2011. Pajak Lemak Untuk Perangi Obesitas di Denmark. http://www.langitberita.com/wtf/23250/wtf-pajak-lemak-untuk-perangi-obesitas-di-denmark/.
[13 Maret 2010]
Mayasari,
Linda. 2013. Ibu Obesitas Lebih Berisiko Serangan Jantung dan Stroke. http://health.detik.com/read/2013/03/13/075755/2192336/763/ibu-obesitas-lebih-berisiko-serangan-jantung-stroke?880004755.
[13 Maret 2010]
Metro
TV News. 2013. Perangi Obesitas, Pemerintah AS Atur Jajanan di Sekolah. http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/09/7/129860/Perangi-Obesitas-Pemerintah-AS-Atur-Jajanan-di-Sekolah-.
[13 Maret 2010]
Mustamin.
2010. Asupan Energi dan Aktivitas dengan Kejadian Obesitas Sentral pada Ibu
Rumah Tangga di Kelurahan Ujung Pandang Baru Kecamatan Tallo Kota Makassar.
Jurnal Asupan Energi, Aktivitas Fisik, Obesitas Sentral. [13 Maret 2010]
Nakadya.
Lemak Kena Pajak. http://lapar.com/di-negara-ini-lemak-kena-pajak-lho/#.UUrpIBdTBGg.
[13 Maret 2010]
PRmob.
2012. Obesitas dan Stroke. http://id.prmob.net/kegemukan/faktor-risiko/pukulan-481011.html.
[13 Maret 2010]
Pusat
Data Informasi Pers. 2012. Risiko Penyakit Degeneratif Mengintai Penderita
Obesitas. http://www.pdpersi.co.id/content/news.php?mid=5&catid=23&nid=815.
[12 Maret 2010]
Siregar,
Liston P. 2012. Label Kesehatan di Inggris. http://www.bbc.co.uk/blogs/indonesia/london/2012/10/.
[13 Maret 2010]
Syahrini,
Erlyna Nur. Dkk. 2012. Faktor-faktor Risiko Hipertensi Primer di Puskesmas
Tlogosari Kulon Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. [13 Maret 2010]
Voice
of America. 2013. Perangi Obesitas, Pemerintah AS Atur Makanan di Sedolah. http://www.voaindonesia.com/content/perangi-obesitas-pemerintah-as-atur-makanan-di-sekolah/1596537.html.
[13 Maret 2010]
World
Health organization. http://www.who.int/topics/obesity/en/.
[12 Maret 2010]
Yanha.
2010. Makalah Obesitas. http://yanhaluciyan.blogspot.com/2010/01/bab-i-pendahuluan-1.html.
[12 Maret 2010]
0>
No comments:
Post a Comment