Thursday, September 26, 2013

Fokus Masalah Diskriminasi terhadap ODHA di Kota Bandung

A.   Teori Hasil Penelitian mengenai Diskriminasi terhadap ODHA
Persoalan HIV/AIDS di Indonesia kini sudah sampai pada tahap yang mencengangkan. Maksudnya, alih-alih menurun, malah jumlah kasusnya semakin meningkat tajam. Hal tersebut didukung pula dengan menigkatnya jumlah orang dengan HIV/AIDS, yang terinfeksi HIV (ODHA) yang tidak lagi hanya pada kelompok yang semula dianggap sebagai kelompok rentan dan orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) yang artinya bukan hanya orang HIV positif, tetapi juga kelarga, pasangan, sahabat dan pendamping (bisa HIV positif atau HIV negative). (Dermatoto, 2011)
Fenomena ODHA masih dianggap sebagai sesuatu yang asing tapi menarik bagi kebanyakan masyarakat. Kita sering mendengar bahwa ODHA menghadapi banyak masalah social. Diperlakukan berbeda oleh orang lain dalam pergaulan, dikucilkan oleh teman-temannya bahkan oleh keluarha sendiri. Ketakutan akan perlakuan yang dibedakan inipun membuat ODHA sulit menjembatani diri dengan orang lain. Takut untuk membagi pengalamannya, bahkan untuk menyatakan bahwa dirinya sakit dan perlu pertolongan kepada orang lain. ODHA senantiasa khawatir akan reaksi dan penerimaan orang lain atas dirinya. Sebaliknya, orang lain pun menjaga jarak. Lebih dari itu, mereka membuat pagar. (Dermatoto, 2011)

Hidup dengan HIV/AIDS memang pada kenyataannya sulit dan menyedihkan. Menerima kenyataan bahwa kita mengidap suatu virus yang tak bisa disembuhkan bukan hal yang bisa dianggap biasa-biasa saja, terutama secara psikologis. Selain itu ODHA seringkali harus menutup-nutupi status HIV positifnya jika mau aman. Ada risiko diskriminasi di lingkungan, tmpat kerja, dalam mendapatkan pelayanan Bahkan dirumah dan ditempat perawatan kesehatan. Belum lagi pandangan masyarakat yang merendahkan dan penuh ketakutan yang masih kuat disekeliling ODHA. Selain itu , ingin menjaga kesehatan fisik pun sulit. Obat-obatan tidak tersedia ataupun tidak terjangkau harganya, fasilitas tes kesehatan dan perawatan minim dan terbatas serta jumlah jaminan keberhasilan yang meragukan adalah beberapa contohnya. (Dermatoto, 2011)
Stigma adalah persoalan khas yang masih terus terjadi pada ODHA, terutama stigma sebagai pendosa dan tidak bermoral. Padahal proses pemaparan HIV tidak hanya berlatarbelakang pada persoalan tersebut. Masalah ODHA tidak hanya sebatas bagaimana ODHA terinfeksi. Masalah ODHA ini juga semakin kompleks dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Berbagai persoalan terus membuntuti, eperti stigma. Jadi beban ODA ini tidak hanya terkait masalah medis, tetapi juga masalah kultur social bagaimana masyarakat menempatkan posisi ODHA termasuk stigma yang terjasi pada masyarakat. Kesalahpahaman atau kurang lengkapnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AODS seringkali berdampak pada stigmatisasi (sangat burut) terhadap ODHA. (Djoerban, 1999)
Selain itu jurnalis dan media baik media cetak maupun elektronik dalam peliputan mengenai ODHA dan hal-hal yang terkait dengan HIV/AIDS adakalanya tidak empati dan jauh dari nilai-nilai humansme antara lain : (Stanley, 2002)
1.    Diskriminasi
Memperlakukan orang secara berbeda-beda tanpa alasan yang tidak relevan misalnya ras, gender, agama dan politik. Dalam kasus HIV?AIDS media sering melakukan pembedaan atas seseorang menurut kehendaknya sendiri. Misalnya orang jahat (ODHA) versus orang baik-baik.
2.    Kekerasan
Pada kasus pemberitaan terhadap seorang pekerja seks misalnya, media melakukan kekerasan karena telah mengekspose seorang pekerja seks tanpa meminta ijin. Akibatnya ia dikucilkan hidupnya setelah pemeberitaan tersebut.
3.    Stigmatisasi
Proses pelabelan (stereotip) yang dilakukan pada orang lain ini sering dilakukan pleh media ketika memberitakan tentang pekerja seks dan HIV/AIDS. Misalnya pekerja seks adalah orang yang tidak baik sebagai penyebar HIV/AIDS, untuk itu mereka harus dijauhi.
4.    Sensasional
Dalam pemberitaan HIV/AIDS, seringkali judul berita menampilkan sesuatu yang bombastis dan terkadang tidak sesuai dengan realitas sebenarnya.
5.    Eksploitasi
Ketika industry media menggunakan judul untuk kepentingan punlisitas, proses yan g dilakukan media selanjutnya adalah melakukan eksploitasi pada yang mereka jual.
B.   Data mengenai Diskriminasi terhadap ODHA di Kota Bandung
Jumlah kasus HIV dan AIDS di Kota Bandung sampai saat ini terus melonjak. Hingga bulan Agustus 2012, kasus kumulatif HIV mencapai 2819 kasus dan AIDS mencapai 1450 kasus, serta jumlah kasus meninggal sebanyak 168 orang. Kasus HIV dan AIDS tertinggi dijumpai pada kelompok Penasun yaitu sebesar 56,44%.(1) Epidemi HIV dan AIDS di Kota Bandung saat ini telah memasuki masyarakat umum terutama ibu-ibu rumah tangga melalui hubungan heteroseksual.
Berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung, namun permasalahan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS atau ODHA tampaknya masih merupakan isu penting yang menjadi sorotan. Stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA seringkali menjadi hambatan dalam upaya menurunkan prevalensi HIV dan AIDS di Kota Bandung.
Timbulnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA disebabkan oleh faktor risiko penyakit ini yang terkait dengan perilaku seksual yang menyimpang dan penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya atau narkoba. Orang-orang dengan infeksi HIV (HIV positif) menerima perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) dan stigma karena penyakit yang dideritanya. (Herek dan Wan Yanhai dalam Paryati, 2013)
Stigma dan diskriminasi tidak saja dilakukan oleh masyarakat awam yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang penyakit HIV/AIDS, tetapi dapat juga dilakukan oleh petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andrewin et al (2008) di Belize, diketahui bahwa petugas kesehatan (dokter dan perawat) mempunyai stigma dan melakukan diskriminasi pada ODHA. (Paryati, 2013)
Diskriminasi pada bidang kesehatan tidak jarang dilakukan oleh para pekerja, idealnya sebagai tenaga kesehatan mempunyai kewajiban menolong pasien tanpa melihat latar belakang kehidupan pasien. Sebuah studi yang dilakukan Yayasan Spritia pada tahun 2002 menunjukkan banyak terjadi stigma (cap buruk) dan diskriminasi di sektor perawatan kesehatan termasuk di dalamnya konseling dan tes HIV. Sebanyak 30 persen responden yang diwawancarai pernah mengalami penolakan oleh petugas pelayanan kesehatan. Bahkan 15 persen tertunda perawatannya karena masalah status HIV positif.
Adapun hasil penelitian Chen et al (2004) mengatakan bahwa 64,1% perawat memiliki simpati kepada pasien dengan HIV positif. Penelitian ini juga mengatakan bahwa lebih dari 50% perawat yang memiliki simpati tersebut, mengaku menghindari untuk kontak atau berhubungan dengan pasien-pasien ini, dan secara umum petugas kesehatan kurang mendukung terhadap ODHA dan kelompok terstigma. (Paryati, 2013)
Faktor lain yang berpengaruh terhadap terjadinya stigma dan diskriminasi adalah tingkat pendidikan dan lama bekerja. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Mahendra et al (2006) yang menyatakan bahwa jenis tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang pendidikannya mempengaruhi skor stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Lamanya bekerja mempengaruhi terjadinya stigma dan diskriminasi karena seseorang yang sudah lama bekerja cenderung mempunyai wawasan yang lebih luas dan pengalaman yang lebih banyak, dimana hal ini memegang peranan penting dalam perubahan perilaku seorang petugas kesehatan (Suganda, dalam Paryati, 2013).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap stigma dan diskriminasi adalah faktor kepatuhan terhadap agama. Kepatuhan terhadap nilai-nilai agama para petugas kesehatan dan para pemimpin agama mempunyai peran dalam pencegahan dan pengurangan penularan HIV. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Diaz di Puerto Rico tahun 2011 menyatakan adanya peran agama dalam membentuk konsep tentang sehat dan sakit serta terkait dengan adanya stigma terhadappenderita HIV/AIDS. Penelitian lain juga menunjukkan hasil yang sama yang dilakukan oleh Aisha Andrewin tahun 2008 bahwa kepatuhan beragama petugas kesehatan berpengaruh terhadap stigma dan diskriminasi kepada penderita HIV/AIDS (Andrewi dan Diaz dalam Paryati, 2013).
Dukungan institusi dalam bentuk penyediaan sarana, fasilitas, bahan dan alat-alat perlindungan diri bagi petugas kesehatan berpengaruh terhadap stigma dan diskriminasi kepada penderita HIV/AIDS oleh petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Li li tahun 2009 di China, bahwa dukungan institusi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap diskriminasi pada ODHA oleh petugas kesehatan (Li li et al dalam Paryati, 2013).
C.   Faktor Utama Diskriminasi terhadap ODHA
Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan persepsi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan hasil bahwa adanya stigma dan diskriminasi pada ODHA oleh petugas kesehatan dipengaruhi oleh pengetahuan dan persepsi petugas kesehatan tentang HIV/AIDS. Hasil penelitian lain yang mendukung adalah dari Cock et al (2002) yang menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap ODHA berhubungan dengan persepsi tentang rasa malu (shame) dan menyalahkan (blame) yang berhubungan dengan penyakit AIDS. (Mahendra dan Pratikno dalam Paryati, 2013)
Awal perkembangan HIV/AIDS terjadi dikalangan yang suka berganti-ganti pasangan, Homoseksual, dan Pekerja Seks Komersial (PSK) yang cukup tinggi. Tetapi hal tersebut terjadi pada tahun sekitar tahun 1970 hingga tahun 1980. Sehingga yang terjadi di masyarakat memberikan stigma bahwa yang terkena HIV/AIDS biasanya juga dari kalangan homoseksual dan PSK. Penularan melalui hubungan seksual yang diumbar-umbar sebagai penyebab utama penyakit HIV/AIDS inilah yang menimbulkan diskriminasi terhadap ODHA.
D.   Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
1.    Diskriminasi terhadap ODHA
HIV (Human Immuno Virus) & AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) di Indonesia merupakan salah satu infeksi menular yang menjadi perhatian pemerintah. AIDS dianggap sebagai penyakit yang berbahaya,karena sampai  saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan.  Pemahaman kebanyakan  orang masih keliru keliru tentang HIV & AIDS. Masalah HIV & AIDS dianggap hanya masalah bagi mereka yang mempunyai perilaku seks yang menyimpang. HIV & AIDS seringkali dikaitkan dengan masalah mereka yang dinilai tidak bermoral, pendosa dan sebagainya. Situasi seperti ini justru hanya memperburuk dan memperparah keadaan karena persoalan HIV yang tidak sesederhana itu.
Selain itu, muncul mitos yang salah yang di masyarakat bahwa berhubungan sosial dengan penderita HIV & AIDS akan membuat kita tertular, seperti bersalaman, menggunakan WC yang sama, tinggal serumah, atau menggunakan sprei yang sama dengan penderita HIV & AIDS. Sebenarnya HIV bukanlah suatu hal yang harus ditakuti hingga menjadi momok yang seakan-akan mengancam kehidupan manusia, selama pengidap tersebut menjaga kondisi tubuhnya maka ia akan hidup dengan sehat dan wajar, dan selama pengidap juga menjaga dan dapat merubah perilakunya maka penularan tak akan terjadi.
Stigma dari lingkungan sosial dapat menghambat proses pencegahan dan pengobatan. Penderita akan cemas terhadap diskriminasi dan sehingga tidak mau melakukan tes. ODHA dapat juga menerima perlakuan yang tidak semestinya, sehingga menolak untuk membuka status mereka terhadap pasangan atau mengubah perilaku mereka untuk menghindari reaksi negatif. Mereka jadi tidak mencari pengobatan dan dukungan, juga tidak berpartisipasi untuk mengurangi penyebaran. Reaksi ini dapat menghambat usaha untuk mengintervensi HIV & AIDS.
Stigma yang ada dalam masyarakat dapat menimbulkan diskriminasi. Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang.
Stigma dan diskriminasi dapat muncul dari respon masyarakat pada HIV. Gangguan pada individu yang terinfeksi atau yang termasuk dalam kelompok tertentu telah meluas. Hal tersebut sering didorong oleh kebutuhan untuk menyalahkan dan menghukum, dan dalam keadaan yang ekstrim dapat meluas menjadi aksi kekerasan dan pembunuhan. Penyerangan pada laki-laki yang dianggap gay telah meningkat di beberapa bagian di dunia, dan HIV & AIDS berhubungan dengan pembunuhan seperti yang dilaporkan di Brazilia, Colombia, Ethiopia, India, Afrika Selatan dan Thailand. Pada Desember 1998, Gugu Dhlamini dilempari batu dan dipukul sampai mati oleh tetangga di sekitar rumahnya dekat Durban, Afrika Selatan, setelah membuka status HIV nya pada Hari Aids Sedunia.
Beberapa bentuk diskriminasi dan Stigmatisasi terhadap ODHA dapat diuraikan sebagai berikut :
a.    Minimnya Dukungan Bagi ODHA dan keluarga

ODHA mengalami proses berduka dalam kehidupannya -sebuah proses yang seharusnya mendorong pada penerimaan terhadap kondisi mereka. Namun, masyarakat dan lembaga terkadang memberikan opini negatif serta memperlakukan ODHA dan keluarganya sebagai warga masyarakat kelas dua. Hal ini menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA.
b.    Tempat Layanan Kesehatan
Sering terjadi, lembaga yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan, pada kenyataannya merupakan tempat pertama orang mengalami stigma dan diskriminasi. Misalnya, memberikan mutu perawatan medis yang kurang baik, menolak memberikan pengobatan -seringkali sebagai akibat rasa takut tertular yang salah kaprah. Contoh dari stigma dan diskriminasi yang dihadapi ini adalah: alasan dan penjelasan kenapa seseorang tidak diterima di rumah sakit (tanpa didaftar berarti secara langsung telah ditolak), isolasi, pemberian label nama atau metode lain yang mengidentifikasikan seseorang sebagai HIV positif, pelanggaran kerahasiaan, perlakuan yang negatif dari staf, penggunaan kata-kata dan bahasa tubuh yang negatif oleh pekerja kesehatan, juga akses yang terbatas untuk fasilitas-fasilitas rumah sakit.
c.    Akses untuk Perawatan
ODHA seringkali tidak menerima akses yang sama seperti masyarakat umum dan kebanyakan dari mereka juga tidak mempunyai akses untuk pengobatan ARV mengingat tingginya harga obat-obatan dan kurangnya infrastruktur medis di banyak negara berkembang untuk memberikan perawatan medis yang berkualitas.
Bahkan ketika pengobatan ARV tersedia, beberapa kelompok mungkin tidak bisa mengaksesnya, misalnya karena persyaratan tentang kemampuan mereka untuk mengkonsumsi sebuah zat obat, yang mungkin terjadi pada kelompok pengguna narkoba suntikan.
2.    Meningkatkan Keterlibatan dan Peran ODHA dalam Penanggulangan HIV/AIDS
Upaya pencegahan penularan HIV tidak dapat perawatan yang baik. walaupun memakan waktu cukup lama, mata masyarakat mulai terbuka mengenai hal ini. kini disadari bahwa ODHA sesungguhnya mempunyai peran yang sanagt penting dalam upaya pencegahan penularan. (Demartoto, 2011)
Dukungan dan perawatan sangat eat kaitannya dengan pencegahan. Melihat pengelaman dibeberapa tempat/Negara, meningkatkan dukungan dan perawatan terbukti sangat menunjang keberhasilan upaya pencegahan mereka. Dengan memberikan perhatian yang cukup pada dukungan dan perawatan, ketakutan yang berlebihan dapat dikikis, dalam masyarakatnya (baik yang terinfeksi maupun tidak) rasa aman dan nyaman timbul dan dengan demikian HIV/AIDS mulai mendapat perhatian serius sebagaimana mestinya dari semua orang. Menghubungkan pencegahan dengan dukungan dan perawatan adalah salah satu hal yang paing masuk akal yang pernah tercetus dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. (Demartoto, 2011)
ODHA menjadi bagian penting dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS karena mereka adalah orang-orang yang hidupnya terseuntuh dan terpengaruh secara langsung oleh virus ini. mereka adalah sumber pengertian yang paling tepa dan paling dalam mengenai HIV/AIDS. Pengertian ini penting dimiliki oleh setiap orang, terutama oleh mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan HIV/AIDS. (Murni dalam Demartoto, 2011)
E.    Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS)
Joint United Nations Programme on HIV and AIDS, atau UNAIDS, adalah pendukung utama untuk aksi global terhadap epidemik HIV yang cepat, luas dan terkoordinasi. Misi UNAIDS adalah untuk memimpin, memperkuat dan mendukung respon yang meluas terhadap HIV dan AIDS yang termasuk mencegah transmisi HIV, menyediakan fasilitas dan dukungan untuk orang yang sudah terlanjur hidup dengan virus, mengurangi kerentanan seseorang dan komunitas terhadap HIV dan mengurangi dampak epidemik.
UNAIDS, yang dibentuk pada Januari 1996, memiliki peran untuk melindungi orang dari epidemi, memonitor dan memberi semangat untuk orang yang hidup menderita HIV/AIDS. Selain itu, UNAIDS juga memberikan laporan tentang epidemi AIDS global, mengadakan konferensi tentang HIV/AIDS, dan menempatkan upaya mengurangi dampak epidemi.
UNAIDS dipandu oleh ‘Program Badan Koordinasi’ dengan wakil-wakil dari 22 pemerintah dari seluruh wilayah geografis, 9 co-sponsor UNAIDS, dan lima wakil organisasi nonpemerintah. UNAIDS bermarkas di Jenewa, Swiss. 169 negara (sampai dengan 2011) yang berpartisipasi. Direktur pertamanya adalah Dr. Peter Piot.
Sejak 30 tahun terakhir ini global dihadapkan dengan epidemi HIV/AIDS, UNAIDS melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi polemik tersebut.  Seperti, 10 tahun setelah Sidang Khusus PBB tentang HIV/AIDS dan adopsi dari Deklarasi Komitmen tentang HIV/AIDS, negara-negara anggota kini tengah bersiap untuk melakukan Pertemuan Tingkat Tinggi tentang AIDS 2011 untuk meninjau dan memperbarui komitmen masa depan untuk penanggulangan AIDS.
UNAIDS yang berkerja sesuai strategi baru UNAIDS 2011-2015 yang bertujuan untuk memajukan kemajuan global dalam mencapai target negara ditetapkan untuk akses universal terhadap HIV, perawatan pencegahan, dan dukungan untuk menghentikan  penyebaran HIV dan berkontribusi kepada pencapaian tujuan Pembangunan Milenium pada 2015.

DAFTAR PUSTAKA
Djoerban, Zubairi. 1999. Membidik IDS: Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA. Yogyakarta, Galang Press.
Demartoto, Argoyo. 2011. ODHA, Masalah Sosial dan Pemecahannya. Jurnal UNS.
Stanley. 2002. Urgency Jurnalisme Damai. Jakarta: Institut Study Arus Komunikasi.

Paryati, Tri dkk. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stigma dan Diskriminasi kepada ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) oleh Petugas Kesehatan. Thesis Pascasarjana Universitas Padjajaran.

No comments:

Post a Comment