A. Teori
Hasil Penelitian mengenai Diskriminasi terhadap ODHA
Persoalan
HIV/AIDS di Indonesia kini sudah sampai pada tahap yang mencengangkan.
Maksudnya, alih-alih menurun, malah jumlah kasusnya semakin meningkat tajam.
Hal tersebut didukung pula dengan menigkatnya jumlah orang dengan HIV/AIDS,
yang terinfeksi HIV (ODHA) yang tidak lagi hanya pada kelompok yang semula
dianggap sebagai kelompok rentan dan orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS
(ODHA) yang artinya bukan hanya orang HIV positif, tetapi juga kelarga,
pasangan, sahabat dan pendamping (bisa HIV positif atau HIV negative).
(Dermatoto, 2011)
Fenomena
ODHA masih dianggap sebagai sesuatu yang asing tapi menarik bagi kebanyakan
masyarakat. Kita sering mendengar bahwa ODHA menghadapi banyak masalah social.
Diperlakukan berbeda oleh orang lain dalam pergaulan, dikucilkan oleh
teman-temannya bahkan oleh keluarha sendiri. Ketakutan akan perlakuan yang
dibedakan inipun membuat ODHA sulit menjembatani diri dengan orang lain. Takut
untuk membagi pengalamannya, bahkan untuk menyatakan bahwa dirinya sakit dan
perlu pertolongan kepada orang lain. ODHA senantiasa khawatir akan reaksi dan
penerimaan orang lain atas dirinya. Sebaliknya, orang lain pun menjaga jarak.
Lebih dari itu, mereka membuat pagar. (Dermatoto, 2011)
Hidup
dengan HIV/AIDS memang pada kenyataannya sulit dan menyedihkan. Menerima
kenyataan bahwa kita mengidap suatu virus yang tak bisa disembuhkan bukan hal
yang bisa dianggap biasa-biasa saja, terutama secara psikologis. Selain itu
ODHA seringkali harus menutup-nutupi status HIV positifnya jika mau aman. Ada
risiko diskriminasi di lingkungan, tmpat kerja, dalam mendapatkan pelayanan Bahkan
dirumah dan ditempat perawatan kesehatan. Belum lagi pandangan masyarakat yang
merendahkan dan penuh ketakutan yang masih kuat disekeliling ODHA. Selain itu ,
ingin menjaga kesehatan fisik pun sulit. Obat-obatan tidak tersedia ataupun
tidak terjangkau harganya, fasilitas tes kesehatan dan perawatan minim dan
terbatas serta jumlah jaminan keberhasilan yang meragukan adalah beberapa
contohnya. (Dermatoto, 2011)
Stigma
adalah persoalan khas yang masih terus terjadi pada ODHA, terutama stigma
sebagai pendosa dan tidak bermoral. Padahal proses pemaparan HIV tidak hanya
berlatarbelakang pada persoalan tersebut. Masalah ODHA tidak hanya sebatas
bagaimana ODHA terinfeksi. Masalah ODHA ini juga semakin kompleks dalam
menjalani kehidupannya sehari-hari. Berbagai persoalan terus membuntuti, eperti
stigma. Jadi beban ODA ini tidak hanya terkait masalah medis, tetapi juga
masalah kultur social bagaimana masyarakat menempatkan posisi ODHA termasuk
stigma yang terjasi pada masyarakat. Kesalahpahaman atau kurang lengkapnya
pengetahuan masyarakat tentang HIV/AODS seringkali berdampak pada stigmatisasi
(sangat burut) terhadap ODHA. (Djoerban, 1999)
Selain
itu jurnalis dan media baik media cetak maupun elektronik dalam peliputan
mengenai ODHA dan hal-hal yang terkait dengan HIV/AIDS adakalanya tidak empati
dan jauh dari nilai-nilai humansme antara lain : (Stanley, 2002)
1.
Diskriminasi
Memperlakukan orang secara
berbeda-beda tanpa alasan yang tidak relevan misalnya ras, gender, agama dan
politik. Dalam kasus HIV?AIDS media sering melakukan pembedaan atas seseorang
menurut kehendaknya sendiri. Misalnya orang jahat (ODHA) versus orang
baik-baik.
2.
Kekerasan
Pada kasus pemberitaan terhadap
seorang pekerja seks misalnya, media melakukan kekerasan karena telah
mengekspose seorang pekerja seks tanpa meminta ijin. Akibatnya ia dikucilkan
hidupnya setelah pemeberitaan tersebut.
3.
Stigmatisasi
Proses pelabelan (stereotip) yang
dilakukan pada orang lain ini sering dilakukan pleh media ketika memberitakan
tentang pekerja seks dan HIV/AIDS. Misalnya pekerja seks adalah orang yang
tidak baik sebagai penyebar HIV/AIDS, untuk itu mereka harus dijauhi.
4.
Sensasional
Dalam pemberitaan HIV/AIDS, seringkali
judul berita menampilkan sesuatu yang bombastis dan terkadang tidak sesuai
dengan realitas sebenarnya.
5.
Eksploitasi
Ketika industry media menggunakan
judul untuk kepentingan punlisitas, proses yan g dilakukan media selanjutnya
adalah melakukan eksploitasi pada yang mereka jual.
B. Data
mengenai Diskriminasi terhadap ODHA di Kota Bandung
Jumlah kasus HIV dan AIDS di Kota
Bandung sampai saat ini terus melonjak. Hingga bulan Agustus 2012, kasus
kumulatif HIV mencapai 2819 kasus dan AIDS mencapai 1450 kasus, serta jumlah
kasus meninggal sebanyak 168 orang. Kasus HIV dan AIDS tertinggi dijumpai pada
kelompok Penasun yaitu sebesar 56,44%.(1) Epidemi HIV dan AIDS di Kota Bandung
saat ini telah memasuki masyarakat umum terutama ibu-ibu rumah tangga melalui
hubungan heteroseksual.
Berbagai upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung, namun
permasalahan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS atau ODHA
tampaknya masih merupakan isu penting yang menjadi sorotan. Stigma dan
diskriminasi masyarakat terhadap ODHA seringkali menjadi hambatan dalam upaya
menurunkan prevalensi HIV dan AIDS di Kota Bandung.
Timbulnya stigma dan diskriminasi
terhadap ODHA disebabkan oleh faktor risiko penyakit ini yang terkait dengan
perilaku seksual yang menyimpang dan penyalahgunaan narkotika dan obat
berbahaya atau narkoba. Orang-orang dengan infeksi HIV (HIV positif) menerima
perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) dan stigma karena penyakit yang
dideritanya. (Herek dan Wan Yanhai dalam Paryati, 2013)
Stigma dan diskriminasi tidak saja
dilakukan oleh masyarakat awam yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang penyakit HIV/AIDS, tetapi dapat juga dilakukan oleh petugas kesehatan.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andrewin et al (2008)
di Belize, diketahui bahwa petugas kesehatan (dokter dan perawat) mempunyai
stigma dan melakukan diskriminasi pada ODHA. (Paryati, 2013)
Diskriminasi pada
bidang kesehatan tidak jarang dilakukan oleh para pekerja, idealnya sebagai
tenaga kesehatan mempunyai kewajiban menolong pasien tanpa melihat latar
belakang kehidupan pasien. Sebuah studi yang dilakukan Yayasan Spritia pada
tahun 2002 menunjukkan banyak terjadi stigma (cap buruk) dan diskriminasi di
sektor perawatan kesehatan termasuk di dalamnya konseling dan tes HIV. Sebanyak
30 persen responden yang diwawancarai pernah mengalami penolakan oleh petugas
pelayanan kesehatan. Bahkan 15 persen tertunda perawatannya karena masalah
status HIV positif.
Adapun hasil penelitian Chen et al (2004)
mengatakan bahwa 64,1% perawat memiliki simpati kepada pasien dengan HIV
positif. Penelitian ini juga mengatakan bahwa lebih dari 50% perawat yang
memiliki simpati tersebut, mengaku menghindari untuk kontak atau berhubungan
dengan pasien-pasien ini, dan secara umum petugas kesehatan kurang mendukung
terhadap ODHA dan kelompok terstigma. (Paryati, 2013)
Faktor lain yang berpengaruh terhadap
terjadinya stigma dan diskriminasi adalah tingkat pendidikan dan lama bekerja.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Mahendra et al (2006) yang
menyatakan bahwa jenis tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang
pendidikannya mempengaruhi skor stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Lamanya
bekerja mempengaruhi terjadinya stigma dan diskriminasi karena seseorang yang
sudah lama bekerja cenderung mempunyai wawasan yang lebih luas dan pengalaman
yang lebih banyak, dimana hal ini memegang peranan penting dalam perubahan
perilaku seorang petugas kesehatan (Suganda, dalam Paryati, 2013).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap
stigma dan diskriminasi adalah faktor kepatuhan terhadap agama. Kepatuhan
terhadap nilai-nilai agama para petugas kesehatan dan para pemimpin agama
mempunyai peran dalam pencegahan dan pengurangan penularan HIV. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Diaz di Puerto Rico tahun 2011 menyatakan adanya
peran agama dalam membentuk konsep tentang sehat dan sakit serta terkait dengan
adanya stigma terhadappenderita HIV/AIDS. Penelitian lain juga menunjukkan
hasil yang sama yang dilakukan oleh Aisha Andrewin tahun 2008 bahwa kepatuhan
beragama petugas kesehatan berpengaruh terhadap stigma dan diskriminasi kepada
penderita HIV/AIDS (Andrewi dan Diaz dalam Paryati, 2013).
Dukungan institusi dalam bentuk
penyediaan sarana, fasilitas, bahan dan alat-alat perlindungan diri bagi
petugas kesehatan berpengaruh terhadap stigma dan diskriminasi kepada penderita
HIV/AIDS oleh petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Li li tahun 2009 di China, bahwa dukungan institusi mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap diskriminasi pada ODHA oleh petugas kesehatan
(Li li et al dalam Paryati, 2013).
C.
Faktor Utama Diskriminasi terhadap
ODHA
Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan persepsi. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang menunjukkan hasil bahwa adanya stigma dan diskriminasi pada
ODHA oleh petugas kesehatan dipengaruhi oleh pengetahuan dan persepsi petugas
kesehatan tentang HIV/AIDS. Hasil penelitian lain yang mendukung adalah dari
Cock et al (2002) yang menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA berhubungan dengan persepsi tentang rasa malu (shame) dan
menyalahkan (blame) yang berhubungan dengan penyakit AIDS. (Mahendra dan
Pratikno dalam Paryati, 2013)
Awal perkembangan
HIV/AIDS terjadi dikalangan yang
suka berganti-ganti pasangan, Homoseksual, dan Pekerja Seks Komersial (PSK)
yang cukup tinggi. Tetapi hal tersebut terjadi pada tahun sekitar tahun 1970
hingga tahun 1980. Sehingga yang terjadi di masyarakat memberikan stigma bahwa
yang terkena HIV/AIDS biasanya juga dari kalangan homoseksual dan PSK. Penularan
melalui hubungan seksual yang diumbar-umbar sebagai penyebab utama penyakit
HIV/AIDS inilah yang menimbulkan diskriminasi terhadap ODHA.
D. Orang
dengan HIV/AIDS (ODHA)
1.
Diskriminasi
terhadap ODHA
HIV (Human Immuno Virus) & AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome) di Indonesia merupakan salah satu infeksi menular
yang menjadi perhatian pemerintah. AIDS dianggap sebagai penyakit yang
berbahaya,karena sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat
menyembuhkan. Pemahaman kebanyakan orang masih keliru keliru
tentang HIV & AIDS. Masalah HIV & AIDS dianggap hanya masalah bagi
mereka yang mempunyai perilaku seks yang menyimpang. HIV & AIDS seringkali
dikaitkan dengan masalah mereka yang dinilai tidak bermoral, pendosa dan
sebagainya. Situasi seperti ini justru hanya memperburuk dan memperparah
keadaan karena persoalan HIV yang tidak sesederhana itu.
Selain
itu, muncul mitos yang salah yang di masyarakat bahwa berhubungan sosial dengan
penderita HIV & AIDS akan membuat kita tertular, seperti bersalaman, menggunakan
WC yang sama, tinggal serumah, atau menggunakan sprei yang sama dengan
penderita HIV & AIDS. Sebenarnya HIV bukanlah suatu hal yang harus ditakuti
hingga menjadi momok yang seakan-akan mengancam kehidupan manusia, selama
pengidap tersebut menjaga kondisi tubuhnya maka ia akan hidup dengan sehat dan
wajar, dan selama pengidap juga menjaga dan dapat merubah perilakunya maka
penularan tak akan terjadi.
Stigma dari
lingkungan sosial dapat menghambat proses pencegahan dan pengobatan. Penderita
akan cemas terhadap diskriminasi dan sehingga tidak mau melakukan tes. ODHA
dapat juga menerima perlakuan yang tidak semestinya, sehingga menolak untuk
membuka status mereka terhadap pasangan atau mengubah perilaku mereka untuk
menghindari reaksi negatif. Mereka jadi tidak mencari pengobatan dan dukungan,
juga tidak berpartisipasi untuk mengurangi penyebaran. Reaksi ini dapat
menghambat usaha untuk mengintervensi HIV & AIDS.
Stigma
yang ada dalam masyarakat dapat menimbulkan diskriminasi. Diskriminasi terjadi
ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk
memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka
akan status HIV seseorang.
Stigma
dan diskriminasi dapat muncul dari respon masyarakat pada HIV. Gangguan pada
individu yang terinfeksi atau yang termasuk dalam kelompok tertentu telah
meluas. Hal tersebut sering didorong oleh kebutuhan untuk menyalahkan dan
menghukum, dan dalam keadaan yang ekstrim dapat meluas menjadi aksi kekerasan
dan pembunuhan. Penyerangan pada laki-laki yang dianggap gay telah meningkat di
beberapa bagian di dunia, dan HIV & AIDS berhubungan dengan pembunuhan
seperti yang dilaporkan di Brazilia, Colombia, Ethiopia, India, Afrika Selatan
dan Thailand. Pada Desember 1998, Gugu Dhlamini dilempari batu dan dipukul
sampai mati oleh tetangga di sekitar rumahnya dekat Durban, Afrika Selatan,
setelah membuka status HIV nya pada Hari Aids Sedunia.
Beberapa
bentuk diskriminasi dan Stigmatisasi terhadap ODHA dapat diuraikan sebagai
berikut :
a.
Minimnya Dukungan Bagi ODHA dan
keluarga
ODHA mengalami proses berduka dalam
kehidupannya -sebuah proses yang seharusnya mendorong pada penerimaan terhadap
kondisi mereka. Namun, masyarakat dan lembaga terkadang memberikan opini
negatif serta memperlakukan ODHA dan keluarganya sebagai warga masyarakat kelas
dua. Hal ini menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA.
b.
Tempat
Layanan Kesehatan
Sering
terjadi, lembaga yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan, pada
kenyataannya merupakan tempat pertama orang mengalami stigma dan diskriminasi.
Misalnya, memberikan mutu perawatan medis yang kurang baik, menolak memberikan
pengobatan -seringkali sebagai akibat rasa takut tertular yang salah kaprah.
Contoh dari stigma dan diskriminasi yang dihadapi ini adalah: alasan dan
penjelasan kenapa seseorang tidak diterima di rumah sakit (tanpa didaftar
berarti secara langsung telah ditolak), isolasi, pemberian label nama atau
metode lain yang mengidentifikasikan seseorang sebagai HIV positif, pelanggaran
kerahasiaan, perlakuan yang negatif dari staf, penggunaan kata-kata dan bahasa
tubuh yang negatif oleh pekerja kesehatan, juga akses yang terbatas untuk
fasilitas-fasilitas rumah sakit.
c.
Akses
untuk Perawatan
ODHA
seringkali tidak menerima akses yang sama seperti masyarakat umum dan
kebanyakan dari mereka juga tidak mempunyai akses untuk pengobatan ARV
mengingat tingginya harga obat-obatan dan kurangnya infrastruktur medis di
banyak negara berkembang untuk memberikan perawatan medis yang berkualitas.
Bahkan
ketika pengobatan ARV tersedia, beberapa kelompok mungkin tidak bisa
mengaksesnya, misalnya karena persyaratan tentang kemampuan mereka untuk
mengkonsumsi sebuah zat obat, yang mungkin terjadi pada kelompok pengguna
narkoba suntikan.
2.
Meningkatkan Keterlibatan dan Peran ODHA dalam
Penanggulangan HIV/AIDS
Upaya
pencegahan penularan HIV tidak dapat perawatan yang baik. walaupun memakan
waktu cukup lama, mata masyarakat mulai terbuka mengenai hal ini. kini disadari
bahwa ODHA sesungguhnya mempunyai peran yang sanagt penting dalam upaya
pencegahan penularan. (Demartoto, 2011)
Dukungan
dan perawatan sangat eat kaitannya dengan pencegahan. Melihat pengelaman
dibeberapa tempat/Negara, meningkatkan dukungan dan perawatan terbukti sangat
menunjang keberhasilan upaya pencegahan mereka. Dengan memberikan perhatian
yang cukup pada dukungan dan perawatan, ketakutan yang berlebihan dapat
dikikis, dalam masyarakatnya (baik yang terinfeksi maupun tidak) rasa aman dan
nyaman timbul dan dengan demikian HIV/AIDS mulai mendapat perhatian serius sebagaimana
mestinya dari semua orang. Menghubungkan pencegahan dengan dukungan dan
perawatan adalah salah satu hal yang paing masuk akal yang pernah tercetus
dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. (Demartoto, 2011)
ODHA
menjadi bagian penting dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS karena mereka adalah
orang-orang yang hidupnya terseuntuh dan terpengaruh secara langsung oleh virus
ini. mereka adalah sumber pengertian yang paling tepa dan paling dalam mengenai
HIV/AIDS. Pengertian ini penting dimiliki oleh setiap orang, terutama oleh
mereka yang pekerjaannya berhubungan dengan HIV/AIDS. (Murni dalam Demartoto,
2011)
E. Joint
United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS)
Joint United Nations
Programme on HIV and AIDS, atau UNAIDS, adalah pendukung utama untuk
aksi global terhadap epidemik HIV yang cepat, luas dan
terkoordinasi. Misi UNAIDS adalah untuk memimpin, memperkuat dan mendukung
respon yang meluas terhadap HIV dan AIDS yang termasuk mencegah
transmisi HIV, menyediakan fasilitas dan dukungan untuk orang yang sudah
terlanjur hidup dengan virus, mengurangi kerentanan seseorang dan komunitas
terhadap HIV dan mengurangi dampak epidemik.
UNAIDS, yang dibentuk pada Januari 1996, memiliki peran untuk
melindungi orang dari epidemi, memonitor dan memberi semangat untuk orang yang
hidup menderita HIV/AIDS. Selain itu, UNAIDS juga memberikan laporan tentang
epidemi AIDS global, mengadakan konferensi tentang HIV/AIDS, dan menempatkan
upaya mengurangi dampak epidemi.
UNAIDS dipandu oleh
‘Program Badan Koordinasi’ dengan wakil-wakil dari 22 pemerintah dari seluruh
wilayah geografis, 9 co-sponsor UNAIDS, dan lima wakil organisasi
nonpemerintah. UNAIDS bermarkas di Jenewa, Swiss. 169 negara (sampai dengan
2011) yang berpartisipasi. Direktur
pertamanya adalah Dr. Peter Piot.
Sejak
30 tahun terakhir ini global dihadapkan dengan epidemi HIV/AIDS, UNAIDS
melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi polemik tersebut. Seperti,
10 tahun setelah Sidang Khusus PBB tentang HIV/AIDS dan adopsi dari Deklarasi
Komitmen tentang HIV/AIDS, negara-negara anggota kini tengah bersiap untuk
melakukan Pertemuan Tingkat Tinggi tentang AIDS 2011 untuk meninjau dan
memperbarui komitmen masa depan untuk penanggulangan AIDS.
UNAIDS
yang berkerja sesuai strategi baru UNAIDS 2011-2015 yang bertujuan untuk
memajukan kemajuan global dalam mencapai target negara ditetapkan untuk akses
universal terhadap HIV, perawatan pencegahan, dan dukungan untuk
menghentikan penyebaran HIV dan berkontribusi kepada pencapaian tujuan
Pembangunan Milenium pada 2015.
DAFTAR
PUSTAKA
Djoerban, Zubairi. 1999. Membidik IDS:
Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA. Yogyakarta, Galang Press.
Demartoto,
Argoyo. 2011. ODHA, Masalah Sosial dan Pemecahannya. Jurnal UNS.
Stanley.
2002. Urgency Jurnalisme Damai. Jakarta: Institut Study Arus Komunikasi.
Paryati, Tri dkk. 2013. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Stigma dan Diskriminasi kepada ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
oleh Petugas Kesehatan. Thesis Pascasarjana Universitas Padjajaran.
No comments:
Post a Comment