Sunday, April 6, 2014

RUN (Let Me Run From The Darkness)

Fira terlihat sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk adiknya Caca. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 23.06 dini hari. Bagi mereka tidak ada perbedaan yang berarti antara siang dan malam. Hal tersebut tidaklah aneh bagi Fira yang mengidap Agoraphobia sejak usia enam belas tahun. Agoraphobia adalah ketakutan berada di tempat dimana bantuan tidak tersedia sehingga penderita agoraphobia selalu takut pada kerumunan bahkan menjadi penyendiri. Sedangkan Caca yang lebih muda sepuluh tahun tersebut tidak pernah mengerti alasan dirinya harus menjalani hidup seakan dirinya pun mengidap penyakit yang sama dengan kakaknya tersebut. Mereka tumbuh menjadi anak yatim piatu dengan baik namun tidak mampu bersosialisasi. Beruntung mereka memiliki bibi yang setia mengurus kebutuhannya. Bahkan keduanya hanya  mampu mengenyam pendidikan secara pribadi di istananya tersebut.

Setelah menikmati makan malam berupa sup hangat buatan kakaknya, Caca bergegas menuju kamar mandi dan segera membersihkan wajah dan kakinya seraya bersiap untuk tidur. Setelah membereskan sisa makan malam, Fira pun menyusul adik semata wayangnya tersebut. Dilihatnya Caca tertidur pulas dibawah selimut biru gelap bercorak bintang. Fira tertunduk sejenak. Lalu tanpa sadar langkah kakinya menuntunnya pada sebuah rak buku besar. Diambilnya sebuah buku favorit milik ayahnya. Buku tersebut tampak lusuh dan usang. Tidak seperti ayah dan ibunya yang maniak buku, Fira memiliki maksud lain. Dia mengambil selembar foto diantara halaman buku yang mulai lepas dari perekatnya itu. Selembar foto itu merupakan hasil selfie terakhirnya dan Caca bersama kedua orang tua mereka. Dalam gambar tersebut terlihat senyum yang merekah dibawah langit biru dengan ribuan untaian kembang api. Foto tersebut memang diambil tepat empat tahun yang lalu, pada pergantian tahun sekaligus hari jadi Fira. Dia menatap foto itu lekat-leka. Sebelum semakin terbawa suasana, Fira buru-buru mengembalikan foto tersebut.
Hari penutup tahun tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Caca kembali menuntut untuk merayakan pergantian tahun sekaligus hari jadi kakaknya tersebut diluar rumah. Dan tentu seperti tahun-tahun sebelumnya kakaknya menolak. Bagi Fira tidak ada yang special dihari itu. Caca yang merasa tidak diindahkan diusia yang kesekian berlari menuju kamar dan melemparkan dirinya diatas tempat tidur. Caca terisak. Dia kecewa karena lagi-lagi harus melewati moment penting tersebut dirumah. Berbeda dengan Fira, Caca yang mewarisi hobby kedua orang tuanya segera menghampiri rak buku. Dicarinya sebuah buku yang belum pernah dia baca sebelumnya. Sampai pilihannya jatuh pada buku cokelat dibaris ketiga. Buku tersebut merupakan tempat Fira menyembunyikan kenangan terakhir mereka bersama kedua orang tuanya. Caca menemukannya. Dia tidak ingat sedikitpun moment tersebut karena saat itu usianya masih enam tahun. Meski begitu rasa senang memenuhinya kala melihat foto tersebut.
Setelah memandang foto yang benar-benar tampak bahagia tersebut, Caca mulai penasaran apa yang terjadi pada orang tuanya. Selama ini dia hanya mengetahui bahwa kedua orang tuanya ke Surga dan mengawasinya dari sana. Tapi dia tidak berniat menanyakan penyebab kematian kedua orang tuanya tersebut pada Fira yang tentu saja akan menolak. Setelah cukup lama memandang latar belakang foto tersebut, Caca mengumpulkan keberanian. Selama ini dia hanya berdiam diri dirumah karena menghormati perintah kakaknya. Tapi tidak hari itu. Caca segera mengenakan sepatu merah andalannya dan bergegas meninggalkan rumah melalui pintu belakang, tanpa sepengetahuan Fira tentunya.
Waktu menunjukkan pukul 13.27 siang. Fira baru saja selesai memanaskan sisa sup semalam untuk tambahan menu makan siang. Setelah semuanya siap, dia memanggil adiknya dengan panggilan-panggilan lembut. Tidak ada jawaban. Fira tidak lagi heran, bukankah sebelumnya Caca ngambek lantaran permintaannya kembali tidak diindahkan oleh kakaknya. Setelah tiga sampai empat kali memanggil, Fira memutuskan mencari adiknya disetiap sudut rumah. Dari ruang tengah ke ruang tamu sampai ke kamar mandi, tapi nihil. Fira menyadari tidak ada tanda keberadaan Caca. Padahal biasanya Caca hanya menonton acara televisi favoritnya. Fira berjalan cepat menuju kamar. Dia hanya mendapati kamar kosong. Dilihatnya ada yang aneh pada rak buku. Fira menyadari hilangnya foto kenangan terakhir mereka. Fira menyadari hilangnya Caca tidak lain karena setelah melihat foto tersebut.
Fira berpikir keras. Tetiba dia menyadari betapa pentingnya sebuah handphone yang sejak dulu tidak diperbolehkannya untuk Caca. Disaat genting seperti ini yang bisa dia lakukan hanyalah menghubungi bibinya. Namun handphone  bibinya sedang tidak dapat dihubungi. Kegelisahan Fira makin menjadi-jadi. Apa yang harus dia lakukan ketika tidak ada seorang pun disana dan menyadari dirinya tidak mampu melangkahkan kakinya keluar rumah ?
Hari semakin malam. Caca tak kunjung kembali. Memori empat tahun silam mulai berputar-putar di kepala Fira. Rasa khawatirnya semakin menjadi-jadi sampai dia memutuskan untuk menyusul adinya tersebut. Langkah demi langkah dia ambil. Sampai Fira berdiri diambang pintu depan rumah. Kakinya gemetaran. Keringatnya mengucur deras. Nafasnya terengah-engah. Ini kali pertama dia melihat dunia luar setelah empat tahun berlalu. Letusan kembang api dilangit malam pergantian tahun baru itu semakin mengganggunya. Fira begitu takut tapi dia jauh lebih mengkhawatirkan adik satu-satunya, Caca. Fira memberanikan diri berlari menyusuri jalan yang malam itu begitu ramai. Langkahnya begitu lemah serta pandangannya yang tak lagi focus membawanya ketempat empat tahun yang lalu. Disanalah tempat terakhir Fira  tertawa bersama keluarga lengkapnya. Air mata Fira mengalir deras. Bukan hanya karena kenangan empat tahun silam yang menyerangnya, melainkan dia mendapati Caca adiknya sedang duduk terdiam dan menengadah menghadap langit menikmati malam pergantian tahun baru. Fira berlari kecil sembari memeluk adiknya. Caca terkejut seketika melihat kakaknya yang selama ini begitu menghindari keramaian kini berada disampingnya dan mendekapnya hangat.
Dengan senyuman yang manis Caca menatap langit malam. Dia berbisik mengucapkan selamat untuk Fira yang kala itu tepat berumur dua puluh tahun. Fira menatapnya penuh rasa bersalah. Ditengah dinginnya malam, dibawah cahaya ribuan kembang api, Fira kembali memeluk adiknya. Dia memulai obrolan dengan suara tercekat. Sedangkan Caca menikmati suasana dan menanti-nanti kemana arah pembicaraan kakanya tersebut. Fira menceritakan kejadian empat tahun silam, kejadian yang sama sekali tidak pernah diingat oleh Caca. Kala itu Fira, Caca dan kedua orang tuanya berkumpul ditempat dan dimoment yang sama. Mereka begitu bahagia hari itu. Senyum kedua orang tuanya pun masih teringat jelas dalam benak Fira. Malam itu ayahnya berpesan padanya untuk menjaga Caca. Sembari mengelus kepala Fira dan Caca ibunya tersenyum ceria dan mengabadikan moment itu dalam selembar foto yang kini membawa Caca dan Fira kembali ketempat tersebut. Fira tidak menyangka kalau hari itu adalah moment terakhir bersama mereka. Sepulang perayaan semalam suntuk tersebut, keluarga mereka mengalami kecelakaan. Mobil Avanza merah yang dikendarai ayahnya menabrak pembatas jalan dan terbalik. Fira dan Caca beruntung bisa selamat dari kecelakaan maut tersebut. Meski Fira harus menghabiskan waktunya sebagai penderita Agoraphobia karena kejadian tersebut.

Caca menghela nafas panjang. Dia beranjak dari pelukan Fira. Ditatapnya wajah kakaknya dengan penuh rasa iba. Kenyataan yang baru saja diungkapkan kakaknya tersebut membuatnya mengerti alasan selama ini kakaknya begitu takut dengan keramaian dan mengasingkannya dari dunia luar. Semuanya tidak lain karena Fira takut kehilangan dirinya sama seperti kehilangan orang tuanya. Bak sebuah cermin kedua perempuan cantik tersebut saling menatap dan meneteskan air mata. Satu hal dimengerti Caca malam itu, kalau kakaknya yang selama ini bersikap keras padanya untuk tidak meninggalkan rumah ternyata begitu menyayanginya. Fira juga memetik pelajaran dari kenangan tersebut, agar dia mampu tegar menghadapi hari esok karena dia tidaklah sendiri.
Inspired from Lara

No comments:

Post a Comment