Gak Boleh Galau lagi :)
Semua orang
sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Sebagian besar teman-teman Kalasi sibuk
rapat tentang kepanitiaan BSLT, kakak-kakak himapid sibuk dengan acara donor
darahnya, teman-teman Kalasi yang tidak mengikuti rapat seperti saya sedang
sibuk mengerjakan tugas biostatistiknya dan ada juga yang hanya duduk menikmati
suasana siang ini. Sedangkan saya hanya sibuk melihat sekitar sambil sedikit
menahan rasa haus. Sampai saya memutuskan untuk pulaang dengan sedikit
berbasa-basi pada Lara. Dan mengulangi basa-basi yang sama pada Ica dan Nunu
ditempat yang berbeda. Seperti biasanya, ketika menaiki angkutan umum hal yang
paling pertama saya lakukan adalah memeriksa semua barang yang untuk
menghindari ketertinggalan ataupun keterceceran barang-barang saya. Meskipun map
saya yang tampaknya kamseupay abis itu, siapa yang tau kalau isinya itu berkas
dan data-data penting. Saking sibuknya memeriksa barang, ketika saya
mendongakkan kepala, angkutan umum tersebut sudah melaju dipintu dua. Sapai ketika
engkutan umum tersebut berhenti disamping gerbang BTP sayapun masih saja
membereskan barang-barang yang saya otak-atik sebelumnya. Setelah kesibukan
yang tidak begitu penting, saya mulai memandang kesegala arah. Saya sedikit
terkaget karena seorang nenek dan cucunya terjatuh karena sedang menaiki
angkutan umum yang saya tumpangi namun dalam keadaan bergerak karena si supir
tidak mengetahui keberadaan nenek tersebut. Sampai ketika nenek tersebut duduk
dihadapan saya dan menebar senyum ikhlas dan sedikit bercerita bahwa beliau
diturunkan oleh supir angkutan umum sudiang karena alas an yang tidak
diketahuinya. Jujur saya tidak begitu peduli dengan dengan cerita tentang
angkutan umum sudiang tersebut karena pandangan saya terfokus pada sosok kurus
kecil yang dipangku nenek tersebut. Anak tersebut terlihat tidak mampu bergerak
sesuka hatinya, mengeluarkan sedikit air liur dari sudut senyumnya dan rebah
dipangkuan nenek tersebut. Mungkn untuk menjawaab kepenasaran ekspresi saya,
nenek tersebut berkata “sakit ki kasian, julas tahun mi”. dan seorang ibu
disamping saya meresponnya “tujuh tahun mi di, kasiannya. Dari lahir mi bu cucu
ta begini ?”. sang nenek yang masih saja tersenyum ikhlas menjawab “ye tujuh belas
tahun mi bu, maunya SMA mi kodong tapi dari lahir memang begini kasian anakku,
mau mi diapa, takdir, diterima mami”. Setengah kaget saya melihat sosok
dipangkuan nenek tersebut yang tampaknya berumur tujuh tahun tersebut ternyata
jauh lebih tua dari yang terlihat. Ditambah lagi sosoknya yang tampak seperti
lelaki tapi anting ditelinganya mengumumkan kalau dia adalah cewek yang
kecantkannya tertutupi oleh penyakit yang dideritanya. Itu membuat saya
menghayal sejenak. Seandainya saya berada diposisi anak itu, sudah pasti
perasaan saya hancur sehancur-hancurnya karena tidak bisa merasakan berbagai hal
yang sama dengan normalnya orang-orang, entah itu rapat, mengerjakan tugas,
mengikuti kegiatan bakti social atau bahkan hanya duduk memperhatikan
orang-orang sekitar. Bahkan hanya untuk duduk pun masi membutuhkan bantuan dari
seorang mama yang usianya sudah cukup tua untuk memangku dan merawat selayaknya
bayi. Atau saya membayangkan seandainya nenek tersebut adalah saya. Saya tidak
bisa memastikan kalau saya bisa setegar beliau atau bahkan tersenyum tulus
seperti beliau sambil memangku seorang remaja yang seharusnya sudah mandiri dan
siap untuk hidup sendiri tanpa saya kelak. Saya pun tidak akan mampu mampu
membawa sosok kecil seperti itu untuk keluar dan menjadi tontonan anak-anak kecil
yang melihatnya dengan jijik namun mereka balas dengan senyum yang sepertinya
mereka baik-baik saja meskipun beban mereka berat.
Saya tertegun
melihat kedua sosok yang sangat tegar tersebut. Mereka menjalani hidupnya
seperti selayaknya orang-orang normal. Sedangkan saya yang bisa dikatakan
sebagai orang normal, menjalani hidup dengan rasa sedih disetiap harinya karena
beban keluarga saya. Beban keluarga yang jauh tidak ada apa-apanya dibandingkan
beban kedua makhluk berhati baja dihadapan saya saat itu. Saya memutuskan untuk
menjadi seseorang yang lebih kuat dari sebelumnya, anti galau terhadap apapun
dan lebih bersyukur dengan semua yang bisa saya dapatkan, meskipun kesulitan
sekalipun. Dan saya harap untuk mereka diluar sana, mereka orang-orang normal
lainnya, kaum-kaum hedonisme, kaum-kaum akademis, atau apapun itu, semua,
syukuri yang kalian miliki, pertanggung jawabkan kesempatan kalian untuk hidup
normal meski dengan kesulitan sekalipun. Karena tidak semua orang mendapatkan
kesempatan seperti kalian.
apanya ?
ReplyDeleteberle
ReplyDelete