BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah kekurangan konsumsi pangan
bukanlah hal baru, namun masalah ini tetap aktual terutama di negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Kehidupan manusia
tak dapat dipisahkan dari masalah kekurangan konsumsi pangan, sehingga kita
sering menemukan ketidak mampuan masyarakat dalam hal pengelolaan makanan yang
baik sesuai dengan standar gizi kesehatan.
GAKI (Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium) merupakan salah satu dari empat masalah gizi utama di
Indonesia. Diperkirakan sekitar 30 juta penduduk bermukim di daerah endemik
gondok, di antaranya terdapat 750 ribu menderita kretin, 10 juta menderita
gondok, dan 3,5 juta menderita lainnya. (Rusnelly, 2006)
Masalah Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium (GAKY) telah lama dikenal di Indonesia. GAKY merupakan salah satu
permasahan gizi yang sangat serius, karena dapat menyebabkan berbagai penyakit
yang mengganggu kesehatan antara lain ; Gondok, Kretenisme, Reterdasi Mental
dll. Hal ini terlihat dari adanya patung-patung tokoh pewayangan yang
ditampilkan dengan leher yang membesar karena Gondok.Tidak hanya dalam
pewayangan dalam kehidupan nyatapun di beberapa daerah dengan mudah dapat di
jumpai penderita Gondok.
Berdasarkan
data WHO Tahun 2005, tercatat ada 130 negara di dunia mengalami masalah GAKY,
sebanyak 48 % tinggal di Afrika dan 41 % di Asia Tenggara dan sisanya di Eropa
dan Fasifik barat. Survei Nasional Pemetaan GAKY di seluruh Indonesia pada
Tahun 1998 ditemukan 33 % kecamatan di Indonesia masuk kategori endemik, 21 % endemik
ringan, 5 % endemik sedang dan 7 % endemik berat. (Dep, kes, 2003). Prevalensi
GAKY pada anak sekolah dasar secara nasional pada Tahun 1990 sebesar 27,7 %,
terjadi penurunan menjadi 9, 3 % pada Tahun 1998. Namun pada Tahun 2003 kembali
meningkat menjadi 11,1 % (Tim Penanggulangan GAKY Pusat dalam Rusnelly, 2006).
Di Jawa
Tengah sebanyak 15.675.219 orang penduduk tinggal di 15 (lima belas) Kabupaten
yang merupakan daerah kekurangan yodium termasuk Kabupaten Brebes. Masalah GAKI di Jawa Tengah
tersebar di 21 Kabupaten mencakup 134 Kecamatan dan 1649 desa. Masalah ini
mengancam lebih dari 321.410 penduduk yang bertempat tinggal di daerah-daerah
tersebut. Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu dari 21 daerah di Propinsi
Jawa Tengah yang dinyatakan sebagai daerah endemik gondok berat. Berdasarkan
hasil Pemetaan GAKY yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes pada
Tahun 2004, prevalensi GAKY berdasarkan TGR di daerah tersebut adalah sebesar
15,9 %. Namun hasil evaluasi Program Penanggulangan GAKY Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah pada Tahun 2004, TGR Kabupaten Brebes adalah sebesar 8,49
%. Namun demikian masih ada kecamatan dengan TGR tertinggi yakni Kecamatan
Sirampog sebesar 40,71 %. (Gatie, 2006)
Dari pemaparan diatas dapat diketahui
bahwa pengaruh/dampak GAKY begitu luas. Yang sangat menghawatirkan akibatnya pada susunan syaraf pusat, karena
akan bepengaruh pada kecerdasan dan perkembangan sosial masyarakat dikemudian
hari.
B. Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk:
1. Menguraikan
definisi gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).
2. Menguraikan
faktor risiko gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).
3. Menguraikan
pengukuran gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).
4. Menguraikan spektrum
serta dampak sosial dan ekonomi gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).
5. Menguraikan
distribusi gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).
6. Menguraikan
determinan gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).
7. Menguraikan pencegahan
dan penanggulangan gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).
C. Manfaat Penulisan
1. Diharapkan dapat dijadikan sebagai salah
satu pemenuhan tugas kelompom mata kuliah Gizi Kesehatan Masyarakat.
2. Diharapkan dapat
dijadikan bahan bacaan berkualitas tentang gangguan akibat kekurangan yodium.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Gangguan
Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
Gangguan
Akibat kekurangan Yodium (GAKY) menurut Depkes RI tahun 1997 adalah sekumpulan
gejala atau kelainan yang ditimbulkan karena tubuh menderita kekurangan yodium
secara terus-menerus dalam waktu lama yang berdampak pada pertumbuhan dan
perkembangan mahluk hidup (manusia dan hewan) sedangkan Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKY) atau Iodine DeficiencyDisorders (IDD) merupakan
istilah yang digunakan untuk menunjukkan berbagai akibat dari kekurangan yodium
pada suatu penduduk dan gangguan ini bisa dicegah dengan mengatasi kekurangan
yodium (Djokomoeljanto dalam Gatie, 2006)
Iodine
defisiensi disorder (IDD) atau gangguan akibat kurang yodium adalah istilah
yang lebih tepat untuk menggambarkan akibat defisiensi yodium. Istilah ini
mencerminkan pemahaman baru akan spectrum yang luas dari defisiensi
yodium pada seluruh populasi mulai dari fetus, neonatus, anak
hingga usia dewasa (Hetzel, 1989)
B. Faktor Risiko Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
1.
Faktor
Konsumsi Makanan Zat Goitrogenik
Goitrogen
adalah bahan kimia yang bersifat toksik terhadap tiroid atau dipecah untuk
menghasilkan bahan kimia toksik. Goitrogenik yaitu zat yang dapat menghambat
produksi ataupun penggunaan hormone tiroid. Zat goitrogenik tiosianat dapat
menyebabkan kejadian GAKY menjadi lebih parah. Tiosianat terdapat di berbagai
makanan, seperti singkong, kubis/kol, lobak cina, rebung. Thaha dkk (2000)
menyatakan bahwa Tiosianat atau senyawa mirip tiosianat terutama bekerja dengan
menghambat mekanisme transpor aktif yodium ke dalam kelenjar tiroid. Konsumsi
tiosianat lebih tinggi secara bermakna pada daerah endemik dan konsumsi
tiosianat lebih tinggi pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol,
rata-rata konsumsi zat goitrogen pada daerah endemik tiga kali sehari, hal ini
menunjukan bahwa ada faktor risiko konsumsi makanan yang mengandung tiosianat
dengan kejadian GAKY. (Kartono dan Dahro dalam Ritanto, 2003)
Pada
masyarakat dengan kebiasaan konsumsi singkong (sumber tiosianat) dalam jumlah
banyak, dapat mengganggu pengambilan yodium oleh kelenjar tiroid. Aktivitas
goitrogenik dari tiosianat atau senyawa serupa dapat diatasi dengan penambahan
yodium. Gaitan E & Cooksey menyatakan bahwa pengaruh zat goitrogenik dapat
terjadi pada berbagai tingkatan dari metabolisme yodium sendiri seperti : (Wuryastuti dan Gaitan E & Cooksey dalam Ritanto,
2003)
a. Menghambat uptake yodida anorganik oleh
kelenjar tiroid, contoh : tiosianat dan isotiosianat yang menghambat proses ini
karena berkompetisi dengan yodium.
b. Menghambat
oksidasi yodida anorganik dan inkorporasi yodium yang sudah teroksidasi dengan
asam amino tyrosin untuk membentuk monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine
(DIT) serta menghambat proses coupling yang dimediasi oleh enzym tiroid
peroxidase (TPO), contoh : Recorsinol dan senyawa fenolik lainnya,
flavonoids, aliphatic disulfides dan goitrin.
c. Menghambat
pelepasan hormon tiroid (T3 dan T4) ke dalam sirkulasi darah, contoh :
kelebihan yodium dan garam lithium.
2.
Kurangnya Konsumsi Makanan Kaya Yodium
Rata-rata
konsumsi bahan makanan kaya yodium pada penduduk di desa-desa lereng gunung
daerah endemis GAKY di Pati dan Jepara 1-2 kali dalam seminggu, sedangkan pada
daerah dataran rendah konsumsi ikan laut 2-4 kali dalam seminggu. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor kesediaan pangan, sosial ekonomi, dan kebiasaan
penduduk serta tingkat pengetahuan tentang GAKY yang rendah. (Fatimah dalam Ritanto,
2003)
3.
Pengetahuan
Orang Tua
Ada 13 - 19 %
dari responden ibu (di Pati dan Jepara) di daerah endemik GAKY yang belum
pernah mendengar tentang yodium. Sedangkan responden yang tidak mengetahui
tentang garam beryodium ada 11-14 %. Kapsul yodiol di Pati hanya dikenal 36,7 %
responden, terutama di daerah endemic gondok. Berdasarkan hasil temuan Suharyo,
dkk (1996) di Jawa Tengah ditemukan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat terhadap suntikan lipiodol dan garam beryodium sangat rendah. Pada
umumnya responden dalam studi tersebut menunjukan bahwa 66,7 % belum pernah
mendengar suntikan lipiodol baik di daerah gondok endemik sedang maupun berat.
(Fatimah dalam Ritanto, 2003)
4.
Defisiensi
Zat Gizi Lain
Dalam berbagai
kajian mutakhir ditemukan bahwa selain goitrogen juga didapati adanya berbagai
zat gizi yang berpengaruh terhadap metabolisme yodium, yang pada gilirannya
berpengaruh terhadap kejadian kegawatan dan prognosis GAKY. Menurut Golden
(1992) yodium termasuk dalam klasifikasi Nutrien Type l bersama-sama dengan zat
gizi lain seperti besi, selenium, kalsium, tiamin mempunyai ciri yang apabila
kekurangan maka gangguan pertumbuhan bukan merupakan tanda yang pertama
melainkan timbul setelah tahap akhir dari kekurangan zat gizi tersebut. Tanda
yang spesifiklah yang pertama akan timbul, dalam hal ini apabila kekurangan
yodium dapat menyebabkan gangguan yang sering disebut Iodine Deficiency
Disorder (IDD). Sedangkan pada Type ll bersama-sama dengan zat gizi lain
seperti potasium, natrium, zink pertumbuhan akan terganggu terlebih dahulu,
tetapi memberikan penilaian biokimia cairan tubuh yang normal (Soekatri, 2004).
Konsumsi makanan harian akan menggambarkan status gizi seseorang, status gizi
kurang atau buruk akan berisiko pada biosintesis hormon tiroid karena kurangnya
TBP (Thyroxin Binding Protein), sehingga hormon tiroid akan kurang
disintesis (Djokomoeljanto dalam Ritanto, 2003)
5.
Kandungan
Yodium dalam Garam Dapur
Program
yodisasi garam adalah salah satu upaya yang ditempuh oleh Pemerintah untuk
menanggulangi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium. Sejak awal dicetuskannya,
program iodisasi garam dititikberatkan pada pengadaan garam konsumsi beriodium,
sehingga seluruh garam konsumsi yang beredar di masyarakat mengandung yodium
dengan kadar KIO3 40 ppm (Departemen Perindustrian RI dalam Ritanto, 2003)
6. Kandungan
Yodium dalam Air
Kandungan
yodium dalam tanah pertanian pada daerah endemik gondok berpengaruh secara bermakna terhadap kejadian gondok, ditunjukan
dengan hasil pengukuran kadar yodium dalam tanah di daerah endemik (rata-rata
0,13 μg/L) lebih rendah dari pada kandungan yodium tanah daerah non endemik
(ratarata 0,21 μg/L). Penyebab GAKY di daerah endemik adalah rendahnya asupan
sehari-hari yang disebabkan oleh rendahnya kadar yodium di dalam bahan makanan
dan air minum. (Thaha dan Djokomoeljanto dalam Ritanto, 2003)
Meskipun
kekurangan yodium merupakan faktor paling penting terhadap terjadinya GAKY,
tetapi ada beberapa faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap menetap dan
berkembangnya kasuskasus baru di berbagai daerah endemis, yang meliputi :
1. Faktor Genetik
Terdapatnya
prevalensi yang tinggi kejadian gondok pada beberapa anggota keluarga
disebabkan rendahnya efisiensi biologi tiroid. Ditemukannya antibodi imunoglubolin (IgG)
dalam serum penderita, antibodi ini mungkin diakibatkan karena suatu kelainan
imunitas yang bersifat herediter yang memungkinkan kelompok limfosit tertentu
dapat bertahan, berkembang biak dan mengekskresi imunoglobulin stimulator,
sebagai respon terhadap beberapa faktor perangsang (David dan Djokomoeljanto
dalam Ritanto, 2003)
2. Gangguan Metabolisme Fungsi tiroid
Fungsi tiroid
merupakan salah satu komponen sistem yang sangat komplek. Bila terjadi defek
pada salah satu fase akan mempengaruhi status tiroid, misalnya pada pasien
dengan sindrom resistensi hormone tiroid sebenarnya memiliki fungsi tiroid yang
normal tetapi statusnya bisa berkisar dari hipotiroid sampai hipertiroid.
Dengan kata lain baik kekurangan maupun kelebihan asupan yodium akan memberikan
dampak terhadap fungsi maupun morfologi kelenjar tiroid (Masjhur dalam Ritanto,
2003)
C. Pengukuran Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
Pengukuran
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) atau Iodine Deficiency Disorders (IDD)
dalam populasi mengindikasikan tingkat dan keparahan masalah. Hal tersebut juga
mengindikasikan kemajuan dalam berkurangnya penderita GAKY. Pengukuran GAKY dipakai
sebagai informasi penting dalam memutuskan apakah suatu program pemberantasan
GAKY masih diperlukan untuk menunjukkan keefektifannya dalam mengurangi jumlah
penderita GAKY. (Gatie, 2006)
Beberapa
metode diterapkan dalam mengklasifikasi tingkat dan keparahan GAKY dapat
diketahui sebagai berikut : (Stanbury dalam Gatie, 2006)
1.
Pengukuran
Tiroid dengan Palpasi
Pengukuran
dengan palpasi telah menjadi standar untuk mengukur gondok. Pada anak usia
sekolah masih amat mudah dan cepat bereaksi terhadap perubahan masukan yodium
dari luar. Kasus gondok pada anak sekolah yang berusia 6-12 tahun dapat
dijadikan sebagai petunjuk dalam perkiraan besaran GAKY di masyarakat pada
suatu daerah (Arisman, 2004).
Survei
epidemiologis untuk gondok endemik prevalensi gondok endemik diperoleh dari
survei pada anak sekolah dasar didasarkan atas klasifikasi dalam Tabel 1.
Tabel 1
Klasifikasi Pembesaran Kelenjar Tiroid
Grade
|
Keterangan
|
0
|
Tidak teraba/tidak terlihat
|
1
|
Teraba dan tidak terlihat pada posisi kepala biasa
|
2
|
Terlihat pada posisi kepala biasa
|
Sumber: Joint WHO/UNICEF/ICCIDD, 1992
Klasifikasi
tersebut mampu memberikan tingkat perbandingan di antara survei di setiap
wilayah. Gondok yang lebih besar mungkin tidak membutuhkan palpasi untuk
diagnosis. Prevalensi gondok endemik dari grade 1 sampai dengan grade
2 dinamakan Total Goiter Rate (TGR) sedangkan grade 2 dan grade
3 dinamakan Visible Goiter Rate (VGR) (WHO dalam Gatie, 2006)
Terdapat
beberapa kelebihan palpasi sebagai suatu metode pengukuran, palpasi adalah
suatu teknik yang tidak memerlukan instrumen, bisa mencapai jumlah yang besar
dalam periode waktu yang singkat, tidak bersifat invasif dan hanya menuntut
sedikit ketrampilan. (Gatie, 2006)
Meskipun
demikian, palpasi mempunyai beberapa kelemahan yang menonjol di antaranya antar
pemeriksa dengan kemampuan dan pengalaman yang berbeda-beda khususnya dalam
gondok endemic grade 0 dan grade 1. Hal ini telah ditunjukkan
oleh penelitian-penelitian para peneliti yang berpengalaman di mana kesalahan
klasifikasi bisa sebesar 40%. Palpasi sangat berguna sebagai suatu tanda awal
bahwa GAKY mungkin ada dan sebagai suatu indicator maka diperlukan penilaian
yang lebih baik. (Gaitan dan Dunn dalam Gatie, 2006)
2.
Pengukuran
volume tiroid dengan Ultrasonografi (USG) Tiroid
Objektivitas
bisa didapatkan dalam survei gondok dengan pengukuran-pengukuran ultrasonografi
seperti yang digunakan dalam penelitian medis lainnya, contohnya dalam
perawatan antenatal. Teknik ini mulai banyak dipakai dan memberikan ukuran
tiroid lebih luas dan bebas dari bias pengukuran. Prosedurnya tidak invasif dan
bisa digunakan untuk mengukur ratusan orang dalam sehari. Teknik tersebut bisa
dipelajari dengan baik dalam beberapa hari. (Gatie, 2006)
Kelebihan dari
pemeriksaan ultrasonografi (USG) adalah memberikan suatu pengukuran objektif
dari volume tiroid, dalam beberapa kasus mungkin bisa menunjukkan pertimbangan
terhadap GAKY dan karenanya program pencegahan yang mahal bisa dihindarkan,
ultrasonografi dengan cepat menggantikan palpasi. Pemeriksaan USG juga
merupakan suatu pengukuran yang tepat untuk melihat pembesaran volume tiroid
dibandingkan dengan palpasi. Volume tiroid yang dihitung berdasarkan panjang,
jarak dan ketebalan dari kedua cuping, volume yang dihitung dibandingkan dengan
standar dari suatu populasi dengan masukan iodium yang cukup. Pengukuran volume
tiroid dengan menggunakan Ultrasonografi untuk saat ini hanya bisa dilakukan
oleh dokter ahli yang sudah terlatih dalam teknik ini. Hasil pemeriksaan volume
tiroid pada sampel merupakan penjumlahan dari volume tiroid kanan dan kiri
(Untoro Y dan Gutekunts dalam Gatie, 2006)
WHO (1997)
merekomendasikan Thyromobil data yang diterbitkan untuk menilai volume tiroid
pada anak-anak umur 6 – 15 tahun. Thyromobil yang dilengkapi dengan alat
ultrasonografi untuk memproses pengukuran yang gondok dengan fasilitas untuk
menyimpan contoh urin. Volume tiroid yang dihitung berdasarkan panjang, jarak
dan ketebalan dari kedua cuping, volume yang dihitung dibandingkan dengan
standar dari populasi yang memiliki masukan yodium yang cukup (Djokomoeljanto,
2001). Tyromobil mengacu standar dari WHO/ICCIDD (1997) untuk batas normal
volume tiroid Indonesia berdasarkan pengukuran USG dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
Batas Normal Volume Tiroid Berdasarkan USG
Umur (tahun)
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
||
WHO 2001 (ml)
|
Indonesia (ml)
|
WHO 2001 (ml)
|
Indonesia (ml)
|
|
6
|
3,8
|
2,4
|
3,6
|
4,0
|
7
|
4,0
|
3,9
|
4,2
|
4,1
|
8
|
4,3
|
4,6
|
4,9
|
6,1
|
9
|
4,8
|
5,9
|
5,7
|
6,7
|
10
|
5,5
|
6,8
|
6,5
|
7,5
|
11
|
6,4
|
7,8
|
7,4
|
8,0
|
12
|
7,4
|
8,1
|
8,3
|
9,9
|
Sumber : WHO/ICCIDD (1997)
Kelemahan dari
ultrasonografi di antaranya harus ada pelatihan, biaya instrumen yang mahal dan
masalah transportasi dari pusat ke wilayah survei.
3.
Kadar
Yodium dalam Urin (UIE/Urinary Iodine Excretion)
Kecukupan
yodium tubuh dinilai dari yodium yang masuk lewat makanan dan minuman, sebab
tubuh manusia tidak dapat mensintesis yodium. Yodium dengan mudah diabsorpsi
dalam bentuk iodida. Ekskresi dilakukan melalui ginjal dan jumlahnya berkaitan
dengan konsumsi. Penilaian jumlah asupan yodium dalam makanan sulit dilakukan ,
karena kandungan yodium dalam makanan mempunyai variasi yang sangat luas, dan
sangat tergantung dari kandungan yodium dalam tanah tempat mereka tumbuh, oleh
karena yodium yang kita butuhkan amat sedikit (dalam ukuran mikro) dan
kandungan yodium dalam makanan sukar diperiksa, maka sebagai gantinya penilaian
asupan yodium dapat diperiksa dengan cara yang lebih praktis atau mudah
dilaksanakan yaitu berdasarkan pengukuran ekskresi yodium dalam urin, sedangkan
ekskresi yodium di dalam feses dapat diabaikan (Syahbuddin dalam Gatie, 2006)
Pengukuran
yodium yang paling dapat dipercaya atau diandalkan adalah median kadar yodium
dalam urin sampel yang mewakili, karena sebagian besar (lebih dari 90%) yodium
yang diabsorpsi dalam tubuh akhirnya akan diekskresi lewat urin (Stanbury,
1996). Dengan demikian UIE jelas dapat menggambarkan intake yodium
seseorang. Kadar UIE dianggap sebagai tanda biokimia yang dapat digunakan untuk
mengetahui adanya defisiensi yodium dalam suatu wilayah (Dunn dan Stanbury dalam gatie, 2006)
Sampel terbaik
untuk pemeriksaan UIE adalah urin selama 24 jam karena dapat menggambarkan
fluktuasi yodium dari hari ke hari. Tetapi, pengambilan sampel urin 24 jam ini
tidak mudah dilakukan di lapangan. Beberapa peneliti kemudian menggunakan
sampel urin sewaktu dan mengukur kadar kreatinin dalam serum, Ialu dihitung
sebagai rasio UIE per gram kreatinin. Hal ini dilakukan dengan asumsi ekskresi
kreatinin relatif stabil. Tetapi ternyata cara ini mempunyai kelemahan karena
kadar kreatinin serum sangat tergantung pada massa otot, jenis kelamin dan
berat badan seseorang (Rachmawati dalam Gatie, 2006)
Pada Conggres
Consultation tahun 1992 oleh WHO, UNICEF, ICCIDD telah disepakati bahwa
pengambilan sampel urin untuk pemeriksaan UIE cukup menggunakan urin sewaktu
dan tidak perlu lagi menggunakan rasio dengan kreatinin. Urin dapat ditampung
dalam botol penampung yang tertutup rapat, tidak perlu dimasukkan dalam lemari
es selama masa transportasi dan tidak perlu ditambahkan preservasi (pengawet
urin). Setelah sampai laboratorium kemudian urin disimpan dalam lemari es.
Dengan penyimpanan dalam lemari es sebelum diperiksa, urin dapat tahan sampai
beberapa bulan (Dunn dalam Gatie, 2006)
Oleh WHO,
UNICEF dan ICCIDD pada Tahun 1994 akhirnya disepakati bahwa metoda yang
direkomendasikan untuk dipakai di seluruh dunia adalah metoda Acid
Digestion. Pertimbangan pemilihan metoda ini adalah mudah, cepat dan tidak
memerlukan alat yang terlalu mahal. Metoda ini menggunakan spektrofotometer
dengan prinsip kolorimetri. Metode ini dapat mendeteksi kadar yodium dalam urin
sampai 5 μg/L (Rachmawati, 1997). Klasifikasi tingkat kelebihan dan kekurangan
yodium dalam suatu wilayah, berdasarkan median kadar yodium dalam urin/Urinary
Iodine Excression (UIE) pada Tabel 3.
Tabel 3
Klasifikasi
kecukupan Yodium Berdasarkan Median UIE
Kecukupan Yodium
|
Median UIE (µg/L)
|
Defisiensi Berat
|
<20 p="">
20>
|
Defisiensi Sedang
|
20-49
|
Defisiensi Ringan
|
50-99
|
Optimal
|
100-200
|
Lebih dari Cukup
|
201-300
|
Kelebihan (Excess)
|
>300
|
Sumber :
ICCIDD/WHO, 2001
Nilai median
UIE dalam suatu populasi dapat digunakan untuk mengukur derajat endemisitas
GAKY (Rachmawati, 1993). Klasifikasi endemisitas Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium berdasarkan median UIE ditunjukan dalam Tabel 4.
Tabel 4
Kriteria
Epidemiologi untuk Penentuan Derajat Endemisitas GAKY berdasarkan Median UIE
Derajat Endemisitas
|
Median UIE (µg/L)
|
Non Endemis
|
≥100
|
Endemis Ringan
|
50-99
|
Endemis Sedang
|
20-49
|
Endemis Berat
|
<20 p="">
20>
|
Sumber : WHO, 1994
D. Spektrum serta Dampak Sosial dan Ekonomi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
Secara
patofisiologis terdapat hubungan antara variasi metabolisme yodium dan hormon
tiroid pada berbagai tingkat tumbuh kembang manusia. Makin dini terjadinya
defisiensi yodium akan semakin berat dan ireversibel akibatnya. Makin lama
menderita gondok endemik akan makin sering ditemukan gondok noduler dan
hipotiroidi, terutama setelah pemberian suplementasi yodium. (Hartono, 2005)
Yodium
dibutuhkan untuk sintesis hormon tiroid, dimana hormon ini penting bagi aspek
tumbuh kembang semua organ dan sistem tubuh, termasuk bagi perkembangan otak.
Perkembangan otak yang terganggu tersebut tercermin dari terlambatnya
perkembangan tonus dan reaksi postural. Namun keterlambatan ini tidak menetap,
karena pada usia 6 bulan mereka bisa mengejar ketinggalannya. Rangkaian
gangguan spektrum kekurangan yodium baik secara fisik maupun mental sejak dalam
kandungan sampai dewasa sangat bervariasi sesuai dengan tingkat tumbuh kembang
manusia. Spektrum GAKY dapat dilihat seperti pada Tabel 5
Tabel 5
Spektrum GAKY
Fetus
|
Abortus
Lahir mati
Peningkatan angka kematian perinatal
Peningkatan angka kematian bayi
Kretin neurologic : defisiensi mental
Bisu-tuli : diplegi spastic, juling
Kretin milksedematosa : defisiensi mental
Cebol
Defek psikomotor
|
Neonatus
|
Gondok
Hipotoroid neonatal
|
Bayi, Anak-anak dan Remaja
|
Gondok
Hipotiroid juventil
Gangguan fungsi mental
Gangguan pertumbuhan fisik
Peningkatan kerentanan terhadap radiasi nuklir
|
Dewasa
|
Gondok dan komplikasinya
Hipotiroid
Gangguan fungsi mental
Hipertiroid diinduksi yodium
Peningkatan kerentanan terhadap radiasi nuklir
|
Sumber : WHO, 1996
Dampak lain yang ditimbulkan oleh gangguan akibat
kekurangan yodium berupa terjadinya
gangguan perkembangan mental, lamban berpikir, kurang bergairah sehingga orang
semacam ini sulit dididik dan di motivasi. Selain itu perkembangan ekonomi juga
dipengaruhi oleh gangguan akibat kekurangan yodium akan mengalami gangguan metabolisme sehingga
badannya akan merasa dingin dan lesu sehingga akan berakibatnya rendahnya
produktivitas kerja, yang akan mempengaruhi hasil pendapatan keluarga.
E. Distribusi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
Untuk
mengetahui masalah kurang yodium, pemantauan besaran masalah dilakukan
berdasarkan survei nasional. Pada tahun 1980, prevalensi (GAKY) pada anak usia
sekolah adalah 27,7%, prevalensi ini menurun menjadi 9,8% pada tahun 1998.
Walaupun terjadi perubahan yang berarti, GAKY masih dianggap masalah kesehatan
masyarakat, karena secara umum prevalensi masih di atas 5%. Prevalensi tersebut
bervariasi antar kecamatan dan masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY
di atas 30% (daerah endemik berat).
Dilaporkan
dalam hasil survai pemetaan gondok 1998 yang telah dipublikasikan WHO tahun
2000, bahwa 18,8% penduduk hidup di daerah endemik ringan, 4,2% penduduk hidup
di daerah endemik sedang, dan 4,5% penduduk hidup di daerah endemik berat.
Diperkirakan pula sekitar 18,2 juta penduduk hidup di wilayah endemik sedang
dan berat; dan 39,2 juta penduduk hidup di wilayah endemik ringan. Menurut
jumlah kabupaten di Indonesia, maka diklasifikasikan 40,2% kabupaten termasuk
endemik ringan, 13,5% kabupaten endemik sedang, dan 5,1% kabupaten endemik
berat.
Gambar 1
Persentasi rumah tangga yang mengkonsumsi garam dengan kandungan yodium
cukup Menurut Provinsi Tahun 2000
Gambar
1 tersebut menunjukkan kecenderungan persentasi rumah tangga mengkonsumsi garam
dengan kandungan yodium cukup tahun 1998 dan 2000. Secara nasional, ada
perbaikan dibanding periode 1995-1997. Ada 12 dari 27 provinsi dimana
persentasi rumah tangga mengkonsumsi garam dengan kandungan yodium cukup
<70 1997="" 2000.="" 2000="" 90="" berarti="" dan="" dari="" di="" dimana="" hampir="" jawa="" jogjakarta="" ke="" masih="" mencapai="" mengalami="" menjadi="" menunjukkan="" menurun="" ntb="" ntt="" pada="" persentasi="" perubahan="" provinsi="" seluruh="" span="" sudah="" tahun="" tidak="" yang="">70>
Tahun
2003 dilakukan lagi survei nasional, yang dibiayai melalui Proyek IP-GAKY, untuk
mengetahui dampak dari intervensi program penanggulangan GAKY. Dari hasil
survei ini diketahui secara umum bahwa TGR pada anak sekolah masih berkisar 11,1%.
Survei nasional evaluasi IP GAKY ini menunjukkan bahwa 35,8% kabupaten adalah
endemik ringan, 13,1% kabupaten endemik sedang, dan 8,2% kabupaten endemik
berat.
Hasil
Survei Nasional tahun 2003 dapat dilihat pada gambar 2 berikut:
Gambar 2
Berdasarkan
status yodium dalam urin (Urinary Iodine Exrection atau UIE), hasil survei
tahun 2003 menunjukkan bahwa nilai rata-rata nasional UIE adalah 229 μg/l. Berdasarkan
nilai median UIE ini tidak ada provinsi yang tergolong kekurangan yodium (suatu
daerah dinyatakan kurang yodium jika rata-rata UIE < 100μg/l 3). Nilai
median UIE terendah (rata-rata 110 μg/l) adalah provinsi NTB dan tertinggi
(rata-rata 337 μg/l) adalah Provinsi Bangka-Belitung.
Perubahan
yang terjadi antara kedua survei tersebut menunjukkan bahwa untuk beberapa
daerah endemik berat dan sedang telah terjadi perbaikan, namun munculnya daerah-daerah
endemik berat, sedang dan ringan yang baru memerlukan kajian yang lebih
mendalam dan penanganan yang lebih serius di masa depan, terutama berkaitan dengan
nilai rata-rata UIE yang cukup baik.
F. Determinan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
1. Lokasi
Faktor lokasi
dapat berpengaruh terhadap kejadian GAKY, hal ini disebabkan kandungan yodium
yang berbeda di setiap daerah. Penderita GAKY secara umum banyak ditemukan di
daerah perbukitan atau dataran tinggi, karena yodium yang berada dilapisan
tanah paling atas terkikis oleh banjir atau hujan dan berakibat
tumbuh-tumbuhan, hewan dan air di wilayah ini mengandung yodium rendah bahkan
tidak ada (Kodyat dalam Rusnelly, 2006)
Menurut data
Departemen Kesehatan Tahun 1990 daerah pantai atau dataran rendah bebas dari penderita
GAKY. Daerah pantai atau dataran rendah secara teoritis mengandung cukup
yodium, dengan demikian maka tanaman sumber air minum dan hewan mengandung
yodium lebih banyak (Adriani dkk dalam Rusnelly, 2006)
2. Asupan Energi
dan Protein
Gangguan
akibat kekurangan yodium secara tidak langsung dapat disebabkan oleh asupan
energi yang rendah, karena kebutuhan energy akan diambil dari asupan protein.
Protein (albumin, globulin, prealbumin) merupakan alat transport hormon tiroid.
Protein transport berfungsi mencegah hormon tiroid keluar dari sirkulasi dan
sebagai cadangan hormon. (Rusnelly, 2006)
3. Status Gizi
Pengaruh
status gizi terhadap kejadian GAKY masih belum banyak diteliti, namun secara
teoritis cadangan lemak merupakan tempat penyimpanan yodium. Jumlah simpanan
yodium di dalam tubuh setiap individu akan berbeda sesuai dengan kondisi status
gizinya (Oenzil dalam Rusnelly, 2006)
Kadar yodium
urin anak dengan status gizi baik lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan
status gizi kurang setelah diberikan kapsul yodium selama 3 hari berturut-turut
(Prihartini dalam Rusnelly, 2006)
Status gizi
kurang atau buruk akan berisiko pada biosintesis hormon tiroid karena kurangnya
TBP (Thyroxin binding Protein), sehingga sintesis hormon tiroid akan
berkurang (Djokomoejanto dalam Rusnelly, 2006)
4. Pangan
Goitogenik
Ada dua jenis
zat goitrogenik yang berasal dari bahan pangan yaitu:
a.
Tiosianat terdapat dalam sayuran kobis,
kembang kol, sawi, rebung, ketela rambat dan jewawut, singkong
b.
Isotiosianat terdapat pada kobis
Zat
goitrogenik adalah senyawa yang dapat mengganggu struktur dan fungsi hormon
tiroid secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung zat goitrogenik
menghambat up take yodida anorganik oleh kelenjar tiroid. Seperti
tiosianat dan isotiosianat menghambat proses tersebut karena berkompetisi
dengan yodium. Menghambat oksidasi yodida anorganik dan inkorporasi yodium yang
sudah teroksidasi dengan asam amino tirosin untuk membentuk monoiodotyrosine
(MIT) dan diodotyrosine (DIT) serta menghambat proses coupling yang
dimediasi oleh enzim thyroid peroxidase (TPO). Menghambat pelepasan hormon
tiroid (T3 dan T4) ke dalam sirkulasi darah. Secara tidak langsung hormon thyrotropin
dapat menurunkan sintesis dan pelepasan T4 dan T3 serta involusi kelenjat
tiroid (Kartasurya dalam Rusnelly, 2006)
5. Pangan
Kaya Yodium
Konsumsi
pangan kaya akan yodium dipengaruhi oleh ketersediaan bahan pangan tersebut dan
lokasi tempat tinggal. Penelitian Fatimah Tahun 1999 menemukan rata-rata
frekuensi konsumsi pangan kaya yodium pada penduduk di desa-desa lereng gunung
daerah endemis GAKY di Pati dan Jepara 1-2 kali dalam seminggu, sedangkan
frekuensi konsumsi pangan kaya yodium di dataran rendah konsumsi ikan laut 2-4
kali dalam seminggu.
Macam dan
jumlah makanan yang dikonsumsi secara individu maupun kelompok masyarakat
tertentu setiap hari dapat disebut “Pola Konsumsi Makanan”. Adapun
faktor-faktor yang berhubungan dengan pola konsumsi di suatu daerah atau
masyarat adalah:
a.
Faktor yang berhubungan dengan ketersediaan atau
pengadaan pangan yang juga dapat dipengaruhi oleh letak geografis, iklim,
kesuburan tanah, transportasi atau distribusi, teknologi.
b.
Faktor kebiasaan atau sosial budaya, sosial ekonomi
masyarakat setempat cukup berperan dalam memberikan gambaran pola konsumsinya
(Kardjati dalam Rusnelly, 2006)
G.
Pencegahan dan penanggulangan Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKY)
Penanggulangan
defisiensi yodium telah dilakukan selama lebih dari 85 tahun yang lalu. Dimulai
di Switzerland pada tahun 1921 dan di AS pada tahun 1924, hampir semua industri
garam nasional diperintahkan untuk menambahkan yodium. Di India efektifitas
program garam beryodium didemonstrasikan pada tahun 1950 pada studi Landmark
oleh Vulimiri Ramalinyaswami. (Peter Adamson dalam rusnelly, 2006)
Ketika penanggulangan
garam beryodium mulai diterima pada tahun 1980 agensi Internasional seperti
UNICEF mulai menekankan pemakaian garam beryodium disemua rumah tangga di
seluruh dunia (Peter Adamson dalam rusnelly, 2006)
WHO
(1993) menyatakan bahwa program pengendalian defisiensi yodium adalah
fortifikasi garam dengan potassium iodate dan pemberian suplemen dengan
kapsul minyak beryodium. Pemakaian garam beryodium diperuntukkan bagi semua
lapisan masyarakat dan program kapsul minyak beryodium diperuntukkan pada kelompok
yang spesifik seperti anak-anak dan ibu nifas (Mus Joko R dalam rusnelly, 2006)
Penanggulangan
GAKY di Indonesia secara nasional dimulai pada tahun 1974 melalui program:
1. Strategi jangka panjang dengan pemberian garam
beryodium (40 ppm).
2. Strategi jangka pendek dengan pemberian
suntikan lipiodol setiap 4 tahun di daerah endemik berat dan sedang. Pada tahun
1992 sampai sekarang dilakukan distribusi kapsul minyak beryodium (kapsul
lipiodol) sebagai ganti suntikan lipiodol (Soeharyo, dkk).
Prioritas
pemilihan wilayah penanggulangan GAKY seperti pada Tabel 6.
Tabel 6
Prioritas Wilayah Program Penanggulangan GAKY
Kapsul
minyak beryodium diberikan satu kali setahun dengan kandungan 200 mg yodium.
Kadar yodium dalam garam yang diperbolehkan dikonsumsi adalah 30 - 80 ppm.
Proyek Intensifikasi Penanggulangan GAKY (IP-GAKY) telah dilaksanakan dengan
bantuan Bank Dunia sejak tahun 1997-2003 untuk mempercepat penurunan prevalensi
GAKY melalui pencapaian konsumsi garam beryodium untuk semua (Universal Salt
Iodization). Program yang dilaksanakan:
1. Pemantauan
status yodium masyarakat
2. Peningkatan
konsumsi garam beryodium
3. Peningkatan
pasokan garam beryodium
4. Distribusi
kapsul minyak beryodium pada sasaran tepat
Tahun
2002, sidang United Nations General Assembly (UNGASS) telah menyepakati
pembaharuan komitmen Word Summit for Children untuk pencapaian eliminasi GAKY
dan Universal Salt Iodization (USI), yaitu konsumsi garam beryodium 90 %
secara berkesinambungan pada tahun 2005. Sedangkan target yang ditetapkan dalam
Indonesia Sehat adalah pencapaian USI pada tahun 2010 (Tim Penanggulangan GAKY
Pusat dalam rusnelly, 2006)
Mengingat
dampak negatif yang ditimbulkan oleh masalah GAKY diketahui secara langsung
dalam penurunan kualitas sumber daya manusia, wajar bila pemerintah Indonesia
memberikan perhatian yang cukup besar dan serius pada masalah ini. Upaya
dilakukan pemerintah dalam pencegahan kekurangan unsur yodium sudah lama
dilakukan, tetapi belum memberikan hasil yang memuaskan, walaupun jumlah daerah
endemis sudah sangat menurun. Prevalensi gondok berdasar TGR yang semula 27,7%
(1990) menjadi 9,8% (1998). Salah satu upaya yang telah dilakukan mulai tahun
1974 sampai dengan tahun 1991 adalah penyuntikan larutan yodium dalam minyak
(suntikan lipiodol) pada penduduk berisiko tinggi di daerah gondok endemik
sedang dan berat. Suntikan lipiodol ini dapat diberikan setiap 4 tahun sekali.
Wanita usia reproduktif dan anak sekolah merupakan kelompok sasaran suntikan
lipiodol. Pemberian suntikan lipiodol sebenarnya sudah memberikan hasil yang
cukup baik dan terbukti sangat efektif untuk penanggulangan kekurangan yodium.
Hal ini terlihat dari menurunnya angka prevalensi gondok dan tercegahnya kretin
endemic (Djokomoeljanto dalam gatie, 2006)
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya,
maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1.
Gangguan Akibat kekurangan Yodium (GAKY) menurut
Depkes RI tahun 1997 adalah sekumpulan gejala atau kelainan yang ditimbulkan
karena tubuh menderita kekurangan yodium secara terus-menerus dalam waktu lama
yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan mahluk hidup (manusia dan
hewan).
2.
Faktor risiko Gangguan Akibat kekurangan
Yodium (GAKY) adalah, kurangnya konsumsi makanan kaya yodium, konsumsi makanan zat goitrogenik, pengetahuan orang tua, defisiensi zat gizi
lain, kandungan yodium dalam garam dapur dan
kandungan yodium dalam air.
3.
Pengukuran Gangguan Akibat kekurangan Yodium
(GAKY)
yaitu pengukuran tiroid dengan palpasi, pengukuran
volume tiroid dengan Ultrasonografi (USG) tiroid dan kadar yodium dalam urin
(UIE/Urinary Iodine Excretion).
4.
5.
3dsa
6.
Fs
7.
Da
B. Saran
Berdasarkan simpulan, direkomendasikan beberapa hal
sebagai hal sebagai berikut:
1.
DAFTAR PUSTAKA
Atmarita.
2002. Berhasilkah gayam Beryodium sebagai
Salah Satu Upaya Penurunan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) di
Indonesia.
Gatie,
Aih Luh. 2006. Validasi Total Goitre Rate
(TGR) Berdasar Palpasi terhadap Ultrasonografi (USG) Tiroid serta Kandungan
Yodium Garam dan Air di Kecamatan Sirampog Kabupaten Brebes. Thesis
Universitas Diponegoro.
Hartono,
Bambang. 2005. Gangguan Perkembangan Otak
Janin Akibat Defisiensi Yodium pada Masa Kehamilan.
NN.
2004. Rencana Aksi Nasional Kesinambungan
Program Penanggulangan GAKY Tahun 2004.
Ritanto,
Mus Joko. 2003. Faktor Risiko Kekurangan
Yodium pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Thesis
Universitas Diponegoro.
Rusnelly.
2006. Determinan Kejadian GAKY pada Anak
Sekolah Dasar di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Kota pagar Alam Propinsi
Sumatera Selatan. Thesis Universitas Diponegoro.
No comments:
Post a Comment